Erupsi & Sejarah Letusan Anak Krakatau, Forum Relawan Bencana Ajak Warga Jadi “Sahabat Bencana”

Erupsi & Sejarah Letusan Anak Krakatau, Forum Relawan Bencana Ajak Warga Jadi "Sahabat Bencana"
Pantauan visual erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK) Selat Sunda, dari CCTV Pulau Sertung, Pos Pengamatan Gunungapi (PGA) Anak Krakatau, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian ESDM, pada Minggu (6/2/2022) pagi. Insert: logo FRB Lampung. | Kolase Collage Maker/PVMBG/dok/Muzzamil
BANDAR LAMPUNG

BANDARLAMPUNG, (LV)
Kabar Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda yang masuk wilayah administratif Kabupaten Lampung Selatan kembali mengalami erupsi, tak ayal bikin warga penasaran selain berdebar.

Gunung berapi yang secara geografis terletak di pertemuan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia ini dilaporkan menghembuskan abu vulkanik dengan tinggi kolom abu berwarna kelabu dengan intensitas sedang, teramati bergerak ke arah timur laut alias ke arah Pulau Jawa, kurang lebih 200 meter di atas puncak sekitar 357 mdpl, pada pukul 16.15 WIB, Kamis (3/2/2022) lalu.

Informasi terhimpun, erupsi Kamis petang lalu terpantau oleh CCTV Pulau Sertung, Pos Pengamatan Gunungapi (PGA) Anak Krakatau, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM); tepat pada pukul 16:31:01 Waktu Indonesia Barat, terekam seismograf dengan amplitudo maksimum 10 milimeter (mm) dan durasi 0 detik.

Menurut sumber informasi, erupsi gunung kaldera, pulau vulkanik kecil anggota dari kepulauan Krakatau, secara spasial terletak antara Pulau Sertung di sisi barat dan Pulau Rakata Kecil atau Pulau Panjang sisi timur, tepatnya di titik koordinat -6.102° Lintang Selatan (LS) dan 105.423° Bujur Timur (BT) di ketinggian 157 meter diatas permukaan laut (mdpl) ini, terjadi berupa hembusan menerus disertai abu, serta tak terdengar suara bunyi dentuman.

Dikutip dari sejumlah pemberitaan media, Kepala Pos PGA Anak Krakatau Lampung, Andi Suandi, Kamis lalu itu menerangkan erupsi GAK ini tidak berdampak berbahaya atau kerusakan, sebab skalanya masih kecil.

Atas meningkatnya aktivitas gunung yang secara geologis memiliki aktivitas vulkanik dan seismik yang tinggi ini, masyarakat diminta waspada, selalu memantau lewat aplikasi Magma Indonesia, yang bisa diunduh di Playstore Android.

Belum hilang rasa ‘tekanjat’, kabar sembilan kali erupsi susulan pada Jumat (4/2/2022), tak urung kembali buat was-was tercekat.

Pertama, pada pukul 09.43 WIB, teramati ± 600 meter di atas puncak (± 757 mdpl) dengan tinggi kolom abu berwarna kelabu intensitas sedang hingga tebal arah barat daya, terekam seismograf beramplitudo maksimum 46 mm dan durasi 50 detik.

Kedua, pada pukul 10.25 WIB dengan tinggi kolom abu teramati ± 800 meter di atas puncak (± 957 mdpl), dengan kolom abu teramati berwarna kelabu intensitas tebal ke arah barat daya, terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 45 mm dan durasi 49 detik.

Andi Suandi mengkonfirmasi, erupsi terjadi karena penumpukan energi di badan GAK. Penjelasan sederhana Andi, kini GAK tengah membangun badannya kembali. Apabila bertumpuk energinya GAK akan hembuskan abu makin lama makin membumbung tinggi.

Penyelia, erupsi: proses keluarnya material lava dan gas dari gunung berapi. Ada dua macam, letusan dan nonletusan. Erupsi letusan, erupsi disertai tekanan tinggi yang buat material padat terlontar ke angkasa.

Terkait, Deni Mardiono, Kepala Pos Pantau GAK Anak Krakatau di Pasauran Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, menyebut kemungkinan besar efek adanya gempa tektonik lokal sekitar kawasan GAK sebelumnya, sehingga memicu peningkatan aktivitas. Deni memperkirakan aktivitas GAK ini siklus periode empat tahunan.

Kekuatan gempa lokal di tubuh GAK hingga radius 10 kilometer (km) dari lokasi, tak bisa dideteksi petugas Pos Pasauran.

“Kalau untuk radiusnya mungkin seputaran Krakatau aja, mungkin bisa di Gunung Anak Krakataunya sendiri, di luar Krakataunya juga. Mungkin jarak antara 2-10 kilometer lah. Gempa lokal yang bisa memicu aktivitas Anak Krakatau,” ujar Deni Mardiono, dikutip dari VIVA, pada Jumat siang.

Dalam catatan PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM, sepanjang Jum’at, tujuh kali erupsi lainnya setelah pukul 09.43 dan 10.25 WIB, terjadi pada pukul 10.28, 12.46, 13.00, 13.31, 13.41, 14.46, dan 17.07 WIB, dengan tinggi kolom abu berkisar antara 800-1.000 meter di atas puncak, dan warna kolom kelabu-hitam tebal.

Berdasarkan pemantauan visual PVMBG, ada indikasi erupsi yang terjadi bertipe magmatik, sejalan dengan kegempaan vulkanik yang terekam. Menilik riwayatnya, kegempaan gunungapi GAK notabene telah terjadi sejak 16 Januari hingga 5 Februari 2022, ditandai terekamnya gempa-gempa vulkanik dan gempa permukaan yang mengindikasikan adanya intrusi magma dari bawah ke permukaan secara bertahap.

Terkait, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, mengungkap bahwa berbasis data pemantauan visual dan instrumental, pihak PVMBG mengindikasikan erupsi GAK masih berpotensi terjadi.

“Potensi bahaya dari aktivitas GAK saat ini dapat berupa lontaran lava pijar, material piroklastik maupun aliran lava. Hujan abu lebat secara umum berpotensi di sekitar kawah di dalam radius 2 km dari kawah aktif,” rilisnya, Jumat (4/2/2022) malam.

Terkait potensi hujan abu, Abdul Muhari menjelaskan, hujan abu yang lebih tipis dapat menjangkau area yang lebih luas bergantung arah dan kecepatan angin.

Baca Juga:  Polsek Panjang Bagikan Paket Sembako Kepada Warga Pesisir Pantai

BNPB, kata dia, berharap agar masyarakat dapat mematuhi rekomendasi resmi PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM. Selain itu, “Kami mengimbau masyarakat agar tak terpancing dan meneruskan berita-berita yang tidak benar dan tidak bertanggung jawab mengenai aktivitas Gunung Anak Krakatau,” wanti dia, menemukenali beredar video-video erupsi GAK 22 Desember 2018 yang seolah-olah ialah kondisi GAK saat ini.

“Mohon tidak meneruskan berita-berita yang tidak benar,” pesan dia memungkasi.

Status tingkat aktivitas GAK sendiri? “Status aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini level II (Waspada) sejak 25 Maret 2019, dengan rekomendasi masyarakat atau wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 2 kilometer dari kawah Gunung Anak Krakatau,” rilis Badan Geologi seperti disitat Sabtu (5/2/2022).

Sekadar pengingat, jika kita sejenak buka sejarah vulkanologi dunia dan Indonesia, diprediksi bahwa dari 300 ribuan korban jiwa akibat bencana letusan gunung berapi sejak empat abad silam, sedikitnya 175 ribu diantaranya disebut berasal dari Indonesia.

Erupsi letusan Krakatau 1883, disebut jadi salah satu letusan gunung berapi sangat dahsyat dan berbahaya dalam sejarah bencana di Indonesia. Bahkan, disebut bencana terburuk sepanjang abad ke-19.

Letusan hebatnya telah meruntuhkan sebagian besar tubuh gunung berapi bersama Pulau Rakata ke dalam laut. Dan hanya kaldera-nya saja yang muncul di atas permukaan laut. Fenomena yang hanya terjadi pada studi kasus meletusnya Gunung Krakatau dan Gunung Tambora dalam sejarah gunung berapi di abad ke-19.

Meracik ingatan, tahun 416 Masehi menjadi tahun bersejarah mana (saat itu) Gunung Krakatau diperkirakan mengalami erupsi dahsyat sejak kali pertama terbentuk di masa purba, hingga membentuk kawah raksasa berdiameter sekitar 6 km.

Berselang 1.467 tahun berikutnya, sejarah dunia mencatatnya sebagai maha dahsyat, yakni saat erupsi letusan Gunung Krakatau terjadi 26 Agustus 1883. Atau, tiga purnama usai Krakatau menunjukkan gejala vulkanik aktif pada 20 Mei 1883. Dimana tercatat, ketinggian awan abunya hingga 10 km (6 mil), suara ledakannya terdengar hingga Batavia (Jakarta) berjarak 160 km (100 mil).

Kendati aktivitas tersebut tercatat mereda pada sekitar akhir Mei, tetapi geliat aktivitas vulkaniknya kembali terasa pada 19 Juni, hingga mencapai puncaknya 26 Agustus 1883, saat sekira pukul 13.00 WIB terjadi serangkaian ledakan semakin lama semakin keras terdengar, disusul hembusan awan hitam abu setinggi 27 km jelas terlihat di atas Gunung Krakatau, satu jam kemudian.

Dan barulah, maha puncak erupsi Krakatau terjadi esoknya, 27 Agustus 1883 sekira pukul 10.00 WIB. Ledakannya dilaporkan luar biasa dahsyat, terdengar hingga jarak 2.200 mil setara 3.500 km di Australia dan mendorong abu vulkanik hingga mencapai ketinggian 50 mil atau sekitar 80 km.

Dua hari meletus 26-27 Agustus, Krakatau memuntahkan jutaan ton batu, debu, dan magma, bahkan materialnya dilaporkan turut menutupi 827 ribu km luas wilayah.

Hari kedua meletus 27 Agustus, diikuti gelombang besar pasang air laut atau tsunami yang membawa material vulkanik: magma dan batu panas menghantam kawasan pesisir di Lampung dan Banten.

Daya rusaknya dirasakan langsung daerah-daerah kawasan pesisir terdekat Sumatera dan Jawa. Empat ledakan jahat yang terjadi dilaporkan membikin tuli orang-orang yang berada di dekat Krakatau. Gelegarnya pun terdengar hingga Kota Perth, Australia yang jaraknya sekitar 4.500 km.

Secara ilustratif, dapat dibayangkan letusan Krakatau turut menggelapkan langit yang menaungi radius 442 km wilayah darinya. Barograf sedunia mendokumentasi 7 kali gelombang kejut. Barograf ialah pencatat tekanan udara, barometer yang mencatat tekanan barometrik aneroid dari waktu ke waktu berbentuk foil grafik atau barogram.

Dalam 13 hari, atau hingga 7 September 1883, lapisan sulfur dioksida dan gas lainnya mulai menyaring jumlah sinar mentari yang bisa mencapai planet Bumi. Efek atmosfer akibat, bahkan membuat pemandangan matahari terbenam yang spektakuler seantero Eropa dan Amerika Serikat.

Bagaimana dengan temperatur bumi? Suhu global tercatat rerata mencapai 1,2 derajat lebih dingin hingga tahun 1888, lima tahun sesudahnya, saat periode yang sama pulau terdekat lokasi letusan, terkubur abu tebal, dan bentuk kehidupan setempat bak mati. Sedikitnya 36.417 orang tewas terenggut.

Bukan cuma Taman Dipangga, nama lokasi bersejarah tempat serpihan badan kapal nelayan yang terlontar akibat erupsi GAK dan tsunami 1883, di bilangan seberang komplek Mapolda Lampung, di Telukbetung, Bandarlampung, yang kelak melegenda jadi bagian lokasi ditemukenalinya pembuktian adanya serangkaian gelombang tsunami ditimbulkan akibat sekaligus saksi bisu efek dahsyat letusannya.

Tsunami pascaerupsi Krakatau, tercatat turut menerjang Benua Amerika, tepatnya kawasan Kepulauan Hawai, Amerika Serikat dan sejumlah kawasan di Amerika Selatan.

Baca Juga:  Pemprov Lampung Dorong Konsumsi Protein Santri

Merujuk data, gelombang terbesar tsunami pascaerupsi letusan Krakatau Agustus 1883 ini, mencapai ketinggian hingga 120 kaki atau sekitar 37 meter!

Menukil laman LiveScience, kemunculan dinding air setinggi 36,5 meter ini dipicu melesaknya Krakatau dan naiknya dasar laut. Di pesisir, gelegar terdengar dari kejauhan, suaranya kian dekat dan kuat. Laut kemudian menggila. Ledakan kala itu melemparkan sekitar 45 km kubik material vulkanik ke atmosfer.

Terus sporadis meletus sejak saat itu, terus bertumbuh, terus dekati ukuran induknya yang telah lebur berkeping, seperti disebut dimuka, tingginya aktivitas vulkanik dan seismik Krakatau yang terus berlangsung, tak urung berakibat munculnya puncak gunung kecil yang lantas menyembul naik ke permukaan laut, di awal 1928. Data lain menyebut, puncak kecil berubah menjadi pulau kecil gunung berapi dan kelak disebut Anak Krakatau ini, mulai muncul di 1927.

Hingga dua tahun kemudian, tahun 1930, puncak kecil Anak Krakatau aktif sporadis sejak kemunculannya, terus mengalami pertumbuhan hingga ketinggian mencapai sekitar 1.000 kaki (300 mdpl).

Terjangan tsunami pada 22 Desember 2018 malam hari di sejumlah lokasi pesisir pantai empat kabupaten/kota di Banten itu sempat sejenak diwarnai kesimpangsiuran informasi dan analisa data. Turut dilaporkan, pihak berwenang merilis cepat dugaan terkuat penyebab tsunami ini akibat aktivitas GAK.

BMKG menyebut penyebabnya ialah adanya longsoran laut sekitar kawasan GAK. Yang pada jauh sebelum saat tsunami datang, memang dilaporkan sedang bergejolak menggelinjang, beberapa bulan terakhir.

Laman NASA Earth Observatory pada H+1 atau 23 Desember 2018 menulis, aktivitas GAK bukan hal aneh, dimana letusan telah terjadi sporadis beberapa dekade terakhir.

Namun NASA menganalisa, agak tak biasa bagi satelit menangkap citra yang jelas tentang erupsi GAK abad ke-21, terakhir tepatnya pada September 2018. Yakni saat pencitraan spektro radiometer resolusi menengah (MODIS) pada satelit Aqua milik NASA menangkap jejak abu vulkanis GAK pada 24 September, menyusul citra serupa yang ditangkap Instrumen Multi Spektral (MSI) pada satelit Sentinel-2 milik Badan Antariksa Eropa pada 22 September 2018.

Diterangkan, kedua citra satelit menunjukan abu vulkanik dan uap mengalir ke arah barat daya di atas perairan Selat Sunda. Sumber-sumber lokal pun benderang melaporkan letusan Anak Krakatau telah berlangsung sejak 19 Juni 2018. Gumpalan abu telah diamati naik ke ketinggian hingga 1,8 km.

“Per 24 September 2018, letusan belum mempengaruhi perjalanan udara di Asia Tenggara, menurut laporan berita. Status peringatan lokal tetap pada “waspada” yang merupakan level peringatan tertinggi kedua,” telaah NASA Earth Observatory.

Jejak abu vulkanis GAK juga dilaporkan tertangkap kamera Stasiun Luar Angkasa Internasional pada 24 September 2018 itu, yang dipotret oleh astronot Alexander Gerst dari Badan Antariksa Eropa.

Dari sejumlah geliat aktivitas GAK terjadi beberapa dekade terakhir, ditingkahi pula sejumlah malapraktik penambangan pasir (ilegal?) didalamnya, peristiwa mutakhir erupsi Anak Krakatau 22 Desember 2018 berakibat gelombang sapujagat tsunami datang buat centang-perenang kawasan pesisir pantai perairan Lampung-Banten.

Sedikitnya, 426 orang tewas, 7.202 terluka akibat naas 135 tahun pasca-1883 ini.

Sejak baheula, budaya luhur warisan nenek moyang bangsa Indonesia telah banyak mengajarkan bagaimana cara terbaik para generasi anak cucu republik kaya bentang spasial gunung berapi dan juga gempa bumi tektonik ini guna mencegah potensi risiko lebih besar, serta merespons, menghadapi sebelum, pada saat, sesaat sesudah, dan pascabencana. Alam maupun non alam.

Sebagai negeri pengampu status “sahabat bencana”: berada di wilayah cincin api, ring of fire, antara lempeng Asia dan Indo-Asia juga Pasifik menciptakan negeri Indonesia kaya gunung berapi dan gempa tektonik.

Belum lagi, mayoritas gunung berapi di Indonesia adalah yang berdaya letus besar dan eksplosif. Sehingga, menjadi jamak pun hingga saat ini, pada radius 10-20 km dari gunung berapi menjadi kawasan yang amat berbahaya, dan patut dihindari apatah lagi dijadikan pemukiman penduduk.

Waspada, Jangan Panik

Memasuki Minggu (6/2/2021), pada pukul enam pagi, Kepala Pos Pantau GAK Anak Krakatau di Pasauran, Kabupaten Serang, Banten, Deni Mardiono, mewartakan, tinggi bumbung asap abu vulkanik menurun jadi 1.500 meter dari puncak. Ketinggian GAK pun, Deni afirmatif, saat ini mencapai 158 meter dari sebelumnya, 338 meter.

Selain PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM, pihak terkait terus ekstra memantau. Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) Kementerian Perhubungan, sigap mengafirmasi peringatan dini agar warga masyarakat mewaspadai adanya potensi sewaktu gelombang tinggi dan juga erupsi Gunung Anak Krakatau ini.

Pun di Bumi Ruwa Jurai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung melalui Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung, Rudy Syawal Sugiarto, juga telah mengumandangkan peringatan dini.

Baca Juga:  Pemkot Latih IKM Tingkatkan Produksi yang Berdaya Saing

Yakni, meminta agar masyarakat tetap waspada, tetap berhati-hati, dan selalu pantengin update terkini Magma Indonesia.

Seturut, dari barisan masyarakat sipil peduli kesiapsiagaan mitigasi bencana dan risiko bencana, setali tiga uang, organ payung elemen masyarakat sipil pelini fokus upaya penanggulangan, pengurangan bencana dan risiko bencana serta pengarusutamaan manajemen kebencanaan di Lampung, yakni Forum Relawan Bencana (FRB) Lampung, juga merilis alarm waspada.

“Mohon izin, kami dari Forum Relawan Bencana Lampung mengajak segenap rakyat Lampung untuk terus melatih sense of early warning kita, kewaspadaan dini kita, termasuk terkait erupsi Gunung Anak Krakatau ini. Waspada ya,” ujar Ketua FRB Lampung Deni Ribowo, menanggapi pada Minggu, di Bandarlampung.

“Jangan panik, jangan abai, jangan ikut-ikut sebarkan kabar bohong, berita palsu, dan informasi yang belum teruji kebenarannya, yang malah justru dapat membahayakan diri kita sendiri,” lugas dia mewanti.

Deni menyebut pihaknya intens memantau dinamika lapangan bersama pihak terkait.
“Mari pantau bersama dari aplikasi digital siaga bencana milik pemerintah, swasta, lembaga tepercaya lainnya. Seperti Magma Indonesia, Info BMKG, Siaga Bencana dan First Aid dari PMI, RRI Play, aplikasi walkie-talkie Zello, dan media massa,” saran dia.

“Kami respek, terima kasih atensi rekan-rekan media massa di Lampung yang tiada putus beri informasi terbaru seputar erupsi Gunung Anak Krakatau ini,” ujar anggota Komisi V DPRD Lampung tersebut, takzim.

Secara reflektif, aktivis 98 ini mengungkap, rakyat delapan kabupaten/kota di Lampung dan Banten, telah memiliki riwayat proses mitigasi prabencana yang diakuinya masih sempat “kedodoran”, pada saat bencana, hingga fase tanggap darurat bencana alam tsunami pascaerupsi GAK 22 Desember 2018 silam. Bahkan hingga tapak rehabilitasi dan rekonstruksi, termasuk trauma healing.

“Kita harus jadi sahabat baik bencana. Setiap kita adalah sahabat bagi bencana, sehingga setiap ada bencana datang, kita siap. Bicara erupsi gunungapi saja misal, ada 129 gunung berapi di Indonesia yang berdiri sepanjang tujuh ribu kilo, masih aktif. Ini 13 persen dari jumlah gunung berapi di dunia. 35 gunung berapi ada di Jawa, itu 25 persen dari gunung berapi di Indonesia,” imbuh dia.

“Bencana tsunami pascaerupsi GAK 22 Desember 2018 harus kita jadikan pelajaran mahal betapa kita rakyat Indonesia yang hidup di bentang spasial ring of fire harus selalu siap sedia waspada siaga 1 x 24 jam mendidik diri sendiri dan lingkungan sekitar kita untuk menjadi sebaik-baiknya sahabat bencana yang tanggap, tangguh, sigap. Orang Lampung bilang kita kudu ligat,” ucap Deni mengingatkan.

Hal itu dia sampaikan bukan demi membuat kepanikan, alih-alih menebar ketakutan.

“Sama sekali tidak. Kami pedomani “alarm” BNPB awal 2019 terkait simulasi tanggap darurat bencana tsunami itu. Ada sedikitnya 3,8 juta jiwa rakyat 8 kabupaten dan kota di sepanjang wilayah pesisir perairan, rentan dampak tsunami. Andai ada pergerakan aktivitas Gunung Anak Krakatau ini misal ya, kalau bisa jangan sampai ada,” sergah dia.

Kedelapan kabupaten/kota dimaksud, yaitu Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Tanggamus dan Kota Bandarlampung, di Lampung. Serta, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kota Serang, di Banten.

Deni Ribowo didampingi oleh Ketua Harian FRB Lampung Aris “Gibrant” Suryono dan sekretaris, Estining Gustina, mengajak seluruh rakyat Lampung untuk selalu saling mendukung dan mendoakan keselamatan bersama lahir batin. “Kita makhluk Allah. Berserah hanya padaNya. Avignam Jagat Samagram. Damailah bumiku dan seisinya. Semoga selamatlah alam semesta,” takzim Deni, mengunci keterangannya.

Sebagai informasi, di FRB Lampung yang ditetapkan berdasar SK Gubernur Lampung G/52/lV.08/HK/2022 tentang Pembentukan Forum Relawan Bencana Provinsi Lampung 2022-2024 tertarikh 13 Januari 2022 lalu, sebagai wadah komunikasi dan koordinasi jejaring individu dan organisasi relawan kebencanaan, relawan sosial kemanusiaan pemangku kepentingan penyelenggaraan penanggulangan bencana daerah di Lampung ini, bergabung sejumlah elemen.

Diantaranya, Deni Ribowo (DRB) Care Relawan Kesehatan, Forum Rescue dan Relawan Lampung (FRRL), Indonesia OffRoad Federation (IOF) Rescue Lampung, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Lampung dan Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Lampung.

Lalu, Pendaki Indonesia Lampung Sai (PILS), Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) Lampung, Suzuki Club Reaksi Cepat (SCRC) Lampung, Taruna Siaga Bencana (Tagana) Lampung, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, Wahana Pecinta Alam (Watala), Vertical Rescue Indonesia (VRI) Lampung, dan lainnya. [red/Muzzamil]

 335 kali dilihat