Opini *Goresan Tinta”
Semakin mendekati Hari Raya Idul Fitri 1446 H, Pegawai tetap mulai menghitung hari menanti sesuatu yang lebih suci THR.
Mereka tak perlu repot-repot. Seperti mukjizat, saldo rekening akan bertambah dengan sendirinya. Beberapa bahkan sudah mulai mencicil pesan tiket mudik, beli baju lebaran, beli kue, atau paling tidak persiapan kumpul bersama keluarga merasa bahagia, meski dompet mulai kering.
Lain hal cerita dengan para penulis. Profesi yang katanya mulia, katanya intelektual, katanya pembawa suara kebenaran, tapi realitanya? Mereka justru makhluk paling rentan di ekosistem ekonomi.
Ketika pegawai sibuk refresh mutasi rekening, penulis sibuk refresh email, menunggu kabar naskah diterima atau ditolak. THR? Jangan mimpi! Yang ada malah pesan WhatsApp dari salah satu kantor : “Maaf, kami belum bisa membayar Berlangganan Koran dan Order Advertorial tulisan Bapak, soalnya lagi menghadapi Efisiensi Anggaran.
“Nasib penulis memang mengenaskan. Tulisan tentang kebenaran? Lalu, apakah penulis menyerah? Tentu tidak. Mereka tetap menulis, tetap menyuarakan kebenaran, meskipun penghasilan tidak lebih stabil dari sinyal Wifi gratisan di warung kopi.
Jadi, ketika Hari Raya tiba, pegawai tetap tersenyum melihat notifikasi saldo masuk. Sementara para penulis? Mereka hanya bisa tersenyum menghibur diri dengan keyakinan bahwa kebenaran memang tidak selalu dihargai di dunia, tapi siapa tahu ada THR di akhirat.
“Pena akan selalu hidup, selama ada kebaikan yang terus dituliskan. Bukan sekedar menulis, tapi meninggalkan jejak kebaikan yang akan terus mengalir pahalanya, bahkan setelah ia tiada.
Di era digital, jangan pernah meremehkan kekuatan tulisan. Pena mungkin kecil, tapi ia mampu mengubah dunia. Tulislah hal-hal yang baik, sebarkan ilmu, dan tinggalkan jejak yang bermanfaat. Karena menulis bukan sekedar merangkai kata, tapi menciptakan kebaikan yang tak akan pernah mati. (Mihsan)