Oleh: Basri Subur, 8 Juni 2025
Ketika seseorang melintas dengan setelan jas mahal, sepatu mengilap, dan aroma parfum mewah, banyak mata secara naluriah menaruh hormat. Penampilan luar yang rapi sering kali diasosiasikan dengan kesuksesan, kekayaan, bahkan kebijaksanaan. Namun, apakah benar semua kemewahan harus datang dalam balutan elegan dan formalitas yang kaku.
Dewasa ini, kita hidup dalam masyarakat yang terlalu mudah terkecoh oleh kemasan. Seolah-olah nilai seseorang hanya bisa diukur dari tebalnya dompet dan tipisnya pori-pori wajah. Padahal, ada kemewahan yang jauh lebih dalam, yang tidak terbungkus jas, tidak dipoles dengan make up, dan tidak bisa dibeli dengan uang.
Kemewahan bisa berbentuk waktu luang untuk bersama keluarga, tidur nyenyak tanpa beban utang, atau kebebasan menjalani hidup sesuai prinsip sendiri. Ada orang yang berjalan dengan sandal jepit, tapi hatinya lapang dan pikirannya merdeka. Ada pula yang tak punya akun media sosial, tapi mampu menikmati hidup lebih utuh daripada mereka yang setiap detiknya mengejar validasi digital.
Lebih dari itu, kemewahan bisa berarti kesederhanaan yang tulus. Seorang petani yang bangun pagi, menanam padi, dan makan bersama keluarganya di saung kecil, ia mungkin lebih kaya secara spiritual dibandingkan pebisnis yang dikelilingi kekayaan tapi kesepian dalam batin.
Masyarakat perlu mulai meredefinisi ulang arti “mewah”. Jangan biarkan jas dan dasi menjadi satu-satunya simbol kemuliaan. Jangan sampai kita buta terhadap nilai-nilai tak terlihat, hanya karena kita terlalu silau oleh kilau yang terlihat.
Karena pada akhirnya, kemewahan sejati bukan tentang dari apa yang kita kenakan, tetapi tentang bagaimana kita menjalani hidup.