Bandar Lampung (LV)
Semringah, bersyukur takzim, simpati, berterima kasih, tak jarang kontan (di tempat) mendoakan si pemberi dilipatgandakan rezekinya, jadi tradisi jamak siapapun latar apapun yang telah, sejam lalu, atau yang baru akan dibantu, sesamanya.
Homo homini socius. Manusia adalah teman bagi sesamanya. Manusia: makhluk sosial.
Demikian tulis filsuf Romawi yang hidup di tahun 4 Sebelum Masehi (SM) hingga wafat tahun 65 Masehi, Lucius Annaeus Seneca, menjawab tanggap, nukilan drama Asinaria karya sastrawan Romawi Titus Maccius Plautus (254-184 SM) berbunyi, ’’Lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit.’’ Yang secara ringkas, hingga kini diketahui dengan istilah homo homini lupus: manusia satu, serigala bagi manusia lainnya.
Terlebih di negeri kita, Zamrud Khatulistiwa, negara demokrasi berketuhanan, Republik Indonesia, negeri pewaris tradisi adiluhung dari era baheula: tepo seliro, gotong royong, atau bunyi arif lokal Bumi Ruwa Jurai dikenal: Sakai Sambayan.
Pun halnya, cuplikan epik dan raut ekspresif sambungrasa berterima kasih itu terekam apik menjejak medium gawai dokumentasi relawan kemanusiaan, setulus eksekusi skuad kolaborator satu ini, pengampu bakti sosial (baksos) donasi kemanusiaan peduli berbagi, sepanjang dua pekan terakhir.
Sidang Pembaca, mari sejenak laruti pesan solidaritas “bela rasa” kemanusiaan taja kolaborasi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Lampung dan ormas Pejuang Bravo Lima (PBL) Lampung, berkebetulan diketuai orang yang sama, aktivis/pengusaha Ary Meizari Alfian MBA.