Oleh : Basri Subur 14 Juni 2025
Di balik senyumnya yang kini mulai jarang muncul, seorang istri menyimpan luka yang tak terlihat. Ia tak disakiti secara fisik, tak diteriaki di depan umum, dan tak pernah ditinggalkan secara jasmani. Tapi jiwanya pelan-pelan terkikis, oleh kecemburuan suaminya sendiri.
Sebut Saja Bunga Melati, seorang ibu rumah tangga yang sebelumnya aktif dalam komunitas Live streaming bersama teman-temannya, kini memilih diam. Bukan karena lelah, tapi karena dilarang. Suaminya melarang ia berkumpul atau sekadar berbincang ringan lewat siaran langsung bersama rekan-rekan perempuannya. Semua karena satu alasan, cemburu.
“Dia takut aku terlalu banyak tertawa dengan orang lain. Katanya itu bisa membuka peluang buruk,” ucap Bunga lirih kepada penulis melalui akun WhatsApp nya. Padahal, dalam tawa itu tidak ada maksud tersembunyi. Tidak ada rayuan, tidak ada pelanggaran. Hanya ruang untuk bernafas, untuk merasa jadi diri sendiri setelah hari-hari panjang mengurus rumah dan anak.
Kecemburuan yang katanya tanda cinta, berubah menjadi pengendalian. Suaminya mulai membatasi ruang geraknya, melarangnya tampil, membatasi pertemanan, hingga menghapus aplikasinya secara diam-diam. Ketakutan yang berlebihan justru menciptakan tembok antara mereka.
Ironisnya, Bunga tak pernah melakukan kesalahan. Ia hanya ingin bersosialisasi. Namun suaminya menafsirkan semua bentuk interaksi sebagai ancaman. Sikap ini, perlahan, menyumbat kebahagiaan yang sederhana, dan memperkecil makna kepercayaan dalam pernikahan.
Cemburu memang manusiawi. Tapi ketika tidak disertai logika dan kepercayaan, ia menjadi racun yang merusak.
Banyak perempuan seperti Bunga, yang hidupnya dibatasi bukan oleh norma, tapi oleh rasa curiga yang berlebihan. Laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi penjaga yang mengekang. Mereka lupa bahwa cinta bukan tentang memiliki sepenuhnya, tapi memberi ruang untuk tumbuh bersama.
Bunga melati, kini kehilangan lingkaran sosialnya. Ia merasa sendirian, bukan karena tak ada teman, tapi karena suaminya tak mengizinkannya bahagia di luar batas rumah.
Untuk para suami:
Jika kau mencintainya, percayalah padanya. Jangan biarkan cemburumu menjadi pagar yang mengurung jiwanya. Jangan sampai perempuan yang setia di sisimu perlahan kehilangan senyumnya karena merasa hidupnya hanya untuk menenangkan ketakutanmu.
Cemburu boleh, tapi jangan sampai membunuh kebebasan dan kebahagiaan pasanganmu. Karena saat seorang istri tidak lagi merasa didengar dan dipercaya, perlahan cintanya juga akan mati, tanpa kau sadari. (*)