Oleh: Pandi Jumat 2 Mei 2025
Di ujung provinsi Lampung, tepatnya di Kabupaten Tulang Bawang Barat, sebuah tanah yang diikat oleh filosofi hidup warisan leluhur, Nemen (gigih), Nedes (tekun), dan Nerimo (ikhlas), kini terdengar rintihan yang menyayat nurani. Suara lirih itu tak datang dari mikrofon politikus atau deretan angka dalam laporan BPK, tetapi dari lorong-lorong sunyi masyarakat desa. Sebab, belum lama ini, kabar mencengangkan menghantam kesadaran publik, tiga Kepala Desa (kepalo tiyuh) resmi ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana desa, diantaranya Kepalo Tiyuh Panaragan, Tiyuh Tirta makmur dan Tiyuh suka jaya.
Ini bukan sekadar pelanggaran hukum. Ini adalah pengkhianatan. Sebab mereka yang dilantik dengan janji dan sumpah di depan rakyat dan Tuhan, ternyata memilih menukar integritas dengan kepentingan pribadi. Dana yang seharusnya untuk memperbaiki jembatan rusak, membangun fasilitas kesehatan, atau membantu petani kecil, justru disulap menjadi kemewahan pribadi.
Luka Kolektif Sebuah Daerah
Tulang Bawang Barat bukan kabupaten kecil. Terdiri dari 9 kecamatan, 3 kelurahan, dan 93 tiyuh (desa), daerah ini menyimpan potensi besar, tanah yang subur, budaya yang kuat, dan masyarakat yang tangguh. Tapi semua itu bisa runtuh jika kepercayaan sebagai pondasi pemerintahan desa mulai retak.
Ketika satu kepalo tiyuh terciduk, itu bisa jadi kelalaian. Tapi ketika tiga, dan potensi kasus serupa masih tercium dari kejauhan, kita tidak sedang bicara soal kebetulan. Kita sedang menghadapi sistem yang rapuh, pengawasan yang lemah, dan pembiaran yang membahayakan.
Diamnya Pemerintah, Teriaknya Rakyat
Pertanyaan terbesar kini menggelantung di benak masyarakat, di mana peran pemerintah kabupaten? Mengapa tak ada sistem audit preventif yang mampu mendeteksi dini penyimpangan? Apakah inspektorat hanya menjadi simbol tanpa taring?
Di berbagai media daring, cetak, dan forum masyarakat, wacana ini terus bergulir. Masyarakat geram, tapi tak tahu harus berteriak ke mana. Mereka hanya bisa bertanya, lirih: “Apa kami hanya rakyat kecil yang hanya layak dibodohi?”
Kita butuh pengakuan, bukan pembelaan. Kita butuh evaluasi menyeluruh, bukan sekadar pemutihan kasus. Sebab jika pembiaran ini terus berlanjut, maka mosi tidak percaya terhadap pemerintah bukan lagi isapan jempol. Rakyat bisa kehilangan harapan. Dan ketika harapan mati, maka apapun bisa terjadi.
Jangan Jadikan “Nerimo” Sebagai Alasan Pasrah
Banyak orang salah menafsirkan filosofi Nemen, Nedes, Nerimo. Nerimo bukan berarti tunduk pada ketidakadilan. Nerimo bukan alasan untuk pasrah terhadap penindasan. Justru dalam ketiganya terkandung pesan perjuangan yang terhormat. Bahwa rakyat Lampung, khususnya Tulang Bawang Barat, adalah masyarakat yang tangguh, pekerja keras, dan sabar, tapi tidak akan diam ketika haknya diinjak.
Sudah cukup rakyat bersabar. Sudah terlalu lama mereka menunggu transparansi dan kejujuran. “Kami hanya ingin satu hal, keadilan dan kejujuran kembali ke tiyuh kami. Kami sudah terlalu lama menunggu,” ungkap seorang tokoh masyarakat kepada penulis, dengan nada nyaris putus asa.
Seruan Terakhir Sebelum Kepercayaan Pupus
Ini bukan tulisan untuk menyudutkan, tapi untuk membangunkan nurani. Kepada para pemimpin daerah, kepada DPRD yang terhormat, kepada inspektorat dan lembaga hukum, dengarlah jeritan ini sebelum terlambat. Bangun sistem yang nyata, perkuat pengawasan, dan berhentilah hanya berfungsi saat pemilu.
Jangan jadikan tangisan tiyuh ini hanya sebagai bahan arsip. Jangan biarkan kisah ini berulang di desa-desa lain. Karena jika keadilan gagal ditegakkan, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan ini pernah gagal melindungi rakyatnya. Dan rakyat tak akan pernah lupa.