“Jangkrik Boss!”

Jangkrik Boss!
OPINI DAN PUISI

Oleh: Muzzamil*)

Ada nggak sih, aktivis antikorupsi atau terpidana korupsi sekali pun!, saat anaknya lahir ke dunia, tetiba saja dapat celetukan verbal selamat kelahiran, “Selamat ya nak telah lahir ke dunia. Idih gemas deh, lucu sekali sih kamu. Kamu udah tahu belum kamu itu hasil korupsi emak bapak kamu?!”

Hmm, kamu nanyeaa? Kamu bertanyeaa-tanyeaa? Ada nggak ya? Kasitau gak ya?

Bener gak sih! Ada tidaknya, 1001 kali ya. Seribu banding satu. Tapi belum tentu ada juga. Malah boleh dibilang langka. Bhaha.

Tetapi apa pun itu, mendengar kata itu, kita minimal ingat, sekonyong-konyong koder membatin bertanya, ada nggak spesialis arsiparis yang khusus mencatat ada berapa kali mulai dari Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kini Joko Widodo (Jokowi), ucapkan kata “korupsi” selama hari bulan tahun kepemimpinannya?

Soekarno, Soeharto, Habibie, tak disebut? Meski dibidani kelahiran Ketetapan MPR Nomor XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan Ketetapan MPR Nomor VIII/2001 tentang Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Kita ambil linimasa rentang dua dasawarsa, tepatnya dari tahun lahir Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2002. Iseng hitung, penjara sudah penuh?

Dua dasawarsa, berapa uang rakyat yang sudah habis digelontorkan buat kerja-kerja raksasa cegah-berantas korupsi di NKRI?

Dua dasawarsa, berapa uang rakyat yang berhasil direbut kembali masuk kas negara dari para pencoleng dan maling duit, para terpidana korupsi itu melalui perampasan aset bergerak/tidak bergerak hasil korupsi, melalui relasi kuasa lembaga antirasuah kita yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?

Dua dasawarsa, berapa rim kertas, berapa kali ketukan palu sidang, berapa volt arus listrik hidupkan mesin pendingin ruangan kala persidangan demi persidangan para terdakwa hingga para terdakwa lelagi para terdakwa tindak pidana korupsi digelar?

Dua dasawarsa, berapa jumlah tukang becak, si mbok jamu gendong, canvasser barang pecah belah, buruh petik kebun teh, tukang cireng sudut sekolah, abang opal yang kini keren rangkap ojol multi aplikator, petugas mercusuar daerah perbatasan, para ayah pejuang rupiah, para ibu pejuang receh yang bantu suami cari nafkah, yang tanpa mereka tahu, tanpa mereka peduli, tanpa mereka hiraukan, dan yang mereka titipkan dalam satu kata vonis: “mampus!”, dapati berita cuaca, satu lagi terpidana korupsi masuk jeruji. Berapa banyak?

Dan dua dasawarsa, kenapa negeri subur makmur gemah ripah lohjinawi ini, Zamrud Khatulistiwa pula, malapraktiknya, tindak pidana korupsi bukannya makin tereliminasi malah justru ikutan subur, buat banyak oknum hidup makmur gemah ripah lohjinawi juga? Astaganaga.

Butuh berapa banyak lagi gelontoran duit rakyat untuk biayai kerja-kerja raksasa tadi? Kerja-kerja profetik terjal mengkristal cegah berantas korupsi liku meliku, sampai batas zero corruption di Tanah Air tercinta, ini?

Butuh berapa pedang pora, untuk penggal hasrat relasi kuasa hingga niat culas curang berujung OTT, berakhir penjara, bermuara hancur minah rumah tangga, huhuhu ulala?

Tahu tapi lupa, ingat tapi “mm, kapan ya?”, sadar tapi durjana, tak cukupkah literatur bicara: power tends to corrupt? Dan jamak dideklarasikan, koruptor adalah musuh negara, musuh agama, dan musuh rakyat?

Haruskah, sampai ada demo serentak 514 kabupaten/kota se-Indonesia desak negara miskinkan absolut, cabut hak politik seumur hidup, dan jadikan hukuman pidana hanya untuk pelengkap semata bagi koruptor?

Serta, seperti yang telah bolak balik pula wacananya didengang-dengungkan macam setrikaan, harus betulan dinomenklaturkan aturan hukuman mati tiada ampun bagi terpidana korupsi dengan besaran minimal kerugian negara 1 miliar rupiah, haruskah?

Haruskah, sampai ada desakan segera, minta KPK bikin aturan bahwa siapa pun yang telah berstatus terdakwa korupsi, dilarang tersenyum manja banyak gaya di depan kamera pewarta di Gedung Merah Putih KPK di Jakarta sana? Haruskah?

Telah banyak sudah, senjata persenjatai, senjata legal hingga senjata material guna perang total, perang bubat lawan korupsi.

Penerapan pasal berlapis, saksi mahkota, hukuman kerja sosial, pencabutan hak politik limitatif, pembuktian terbalik dan sebagainya, yang pun herannya tak kunjung mempan juga kurung erat hasrat culas kode berkode ini.

Ya. Dari Apel Washington, kardus durian, cis, sampai terbaru infak.

Itu contoh. Belum lagi arung bahtera rumah tangga mereka yang berperkara korupsi. Pengucilan sosial, risiko ikutan lainnya lagi.

Kerja-kerja dua dasawarsa, dengan demikian, bukan percuma. Kita dengan KPK, dan, kita tanpa KPK, pasti beda. Ada KPK saja malapraktik purba korupsi merajalela, apalagi tanpa adanya KPK? Yang diniatkan sebatas lembaga ad hoc itu. Yang terus, dan nyata benar, jadi panglima perang antikorupsi negeri ini. Sudahkah maksimal?

Baca Juga:  Kemajuan zaman ke zaman Teknologi Pertanian di Rawajitu Utara

Tanya ini bak tanya resiprokal. Tak butuh dijawab, tak butuh jawaban. Apa pasal? Sebab jika darah kita berasa mendidih tiap kali baca lihat mendengar kabar satu lagi terdakwa korupsi divonis bersalah, terbukti secara sah dan meyakinkan hingga resmi berstatus terpidana korupsi, itu tetanda asa itu masih ada. Bara perlawanan terhadap malapraktik korupsi itu masih nyala. Nyala!

Dahulu kala, zaman Orde Baru, masih ingat ucapan spontan khas trio Warkop DKI Dono Kasino Indro di film Chips (1982) yang masih saja populer hingga saat ini?

Tepatnya, kalimat spontan Kasino saat diceritakan dia yang bersama Dono dan Indro berperan jadi petugas pelayanan kamtibmas kelolaan swasta, secara tak sengaja memergoki atasannya (diperankan Panji Anom) yang bermesraan dengan satu perempuan tengah hutan. Ulah terpergok, si atasan beralasan tengah mencari jangkrik.

Keruan Kasino menyeletuk, “Jangkrik Boss!” sebagai ungkapan sindiran ke sang atasan. Dasar hoki, tiap kali Kasino ucapkan kalimat sindiran itu di hadapan si bos juga rekannya, dia selalu dapatkan ‘uang tutup mulut’ yang sayangnya tak bisa dipraktekkan Dono dan Indro.

Per filosofis, istilah “jangkrik” barangkali merupakan suatu umpatan simbolik dalam hidup keseharian. Nun, dalam film Warkop DKI ini, ungkapan “jangkrik boss” notabene bukan sebatas umpatan, tapi sebuah sinyal praktik suap-menyuap, kolusi, pemerasan.

Saat Kasino nyeletuk “jangkrik boss!”, si bos buru-buru sodorkan uang “tutup mulut” supaya aibnya tertangkap basah Kasino tengah berduaan dengan perempuan bukan pasangan resminya tadi, tak dibongkar.

Ungkapan “jangkrik boss” sejatinya sindiran tentang “budaya” korupsi, kolusi, perbuatan tak terpuji. “Jangkrik boss” semacam satir, gaya kritik khas Warkop DKI.

Lahirnya film Warkop DKI Reborn 2016 silam yang hidupkan kembali ungkapan 34 tahun sebelumnya itu, menurut M Subhan SD dalam artikelnya di Kompas.com edisi 16 September 2016, masih amat pas atau sebutlah relevan saat 2016 itu, pun saat ini. Betul apa betul?

Film Warkop DKI Reborn hadir kembali saat budaya korup masih menjadi pemandangan sehari-hari di negeri ini. Ternyata, Indonesia belum berubah juga. Padahal, korupsi jadi salah satu faktor penumbang Orde Baru.

Era Orde Baru, kritik Warkop DKI yang para personilnya juga demonstran ini, dipandang cuma sekadar sebuah kelucuan semata. Rezim tak terusik karena barangkali itu hanyalah dialog dan adegan dalam film.

Padahal, sejatinya Warkop DKI ini sedang memarodikan kehidupan nyata. Bukankah, film sebagai praktik kehidupan sosial? Ini kata Graeme Turner, dalam Film as Social Practice (1988). Film, notabene potret realitas masyarakat.

Dan film Chips Warkop DKI, pun Warkop DKI Reborn pun sadar tak sadar juga bagian reaksi balik puncak gunung es realita sosial, yang masih dan bahkan mengganas, serba korup? Perjuangan pemberantasan korupsi yang penuh onak duri?

Sebagai satu contoh, riset Kompas 2016, terkait ringannya hukuman bagi koruptor. Tahun 2013, hukuman penggarong uang rakyat rata-rata 2 tahun 11 bulan, tetapi tahun 2016 hukumannya turun rata-rata 2 tahun 1 bulan (Kompas, 13/9/2016). Ini data lawas belum lawas amat, 6 warsa lewat.

Atau, kita korelasikan dengan adagium top: revolusi mental. Nyata menyata tidak, jika pertanyaan tertuju kepada anda: sudahkah signifikan hasilnya, dengan melihat bahwa malapraktik korupsi belum betul-betul dilihat sebagai suatu perbuatan hina dina yang merendahkan martabat manusia dan kemanusiaan, dan oleh karenanya selain dideklarasikan sebagai extraordinary crime, disebut pula kejahatan kemanusiaan?

Masih kurang, dengan melihat malapraktik korupsi belum betul-betul dilihat sebagai suatu perbuatan hina dina penuh dosa, amoral, tercela, merusak kehidupan bukan cuma pelakunya seorang, tapi banyak dan banyak dan ‘buanyak’ manusia?

“Etaterangkanlah”, kenapa eh kenapa, korupsi justru jadi titian gempita bagi mereka yang dahaga harta dan haus kuasa?

Rumput yang bergoyang, atau pun rumput tetangga yang lebih menghijau pun, konon telah tutup pintu. Enggan lagi jawab alias no comment. Bagaimana dengan kita?

Bila dihadapkan dengan gelitik pertanyaan: apakah koruptor berarti tak cinta Tanah Air? Mereka pasti marah jika dituding demikian.

Tapi, jika mengaku cinta Tanah Air, kenapa mereka seenak udel rampok uang negara juga, bagaimana dan dimana logikanya?

Logika sederhananya, kalau cinta Tanah Air ya berarti tidak aka berperilaku sekaligus menjauhi korupsi, dong, ya kan? Tapi?

Mahasiswa Belgia turun ke jalan di Brussels begitu jiwa mereka terpikat cinta suci pada Tanah Air (amor sacre de la patrie) saat menonton opera La Muette Portici (kisah pemberontakan rakyat melawan kekuasaan Spanyol) pada 25 Agustus 1830. Mereka berdemonstrasi hingga Belgia lalu diakui merdeka 14 Oktober 1831 (Hans Kohn, 1955).

Baca Juga:  Pesona Hutan Mangrove Sriminosari Lampung Timur

Demi menuju hari proklamasi 17 Agustus 45, rakyat dan bangsa Indonesia juga berabad lamanya berjibaku lawan penjajahan. Cinta Tanah Air Indonesia bukan simsalabim sisa satu malam. Jutaan malam.

Dan sebagai sebuah kesepakatan kolektif, tentu kita bersepakat bukan, bahwa kita ogah setback, enggan kembali pada situasi keterbelakangan dan ketertinggalan etos zaman yang semakin hari semakin serba transparan di satu sisi, di sisi lain semakin transparan pula tradisi purba menggarong uang rakyat jadi tradisi lintas generasi?

Dan menurut hemat penulis, fokus kinerja pencegahan korupsi sebagai bagian dari Trisula Antikorupsi KPK pada saat ini, salah satunya beranjak dari dan berpulang pada kesadaran sejati bahwasanya kewajiban internalisasi nilai-nilai antikorupsi harus digalakkan dan menyasar sejak usia dini.

Lewat apa? Pendidikan, tepatnya melalui pendidikan antikorupsi (PAK). Pemodelan telah lama disuarakan, lama pula dipraktik-baikkan sejumlah entitas pendidikan.

Seperti yang terhangat di Lampung misal (terima kasih buat KPK atas) inisiasi dan keterpilihan sembilan sekolah/madrasah di Lampung, sebagai proyek pilot PAK jenjang pendidikan dasar dan menengah, dimana keterangan Direktur Jejaring Pendidikan KPK Aida Ratna Zulaiha 2 Desember lalu, ini hasil assesmen pemerintah daerah sebelum ditetapkan KPK jadi sekolah percontohan untuk implementasi pendidikan antikorupsi.

Ke-9 itu, Taman Kanak-kanak (TK) Gunung Sugih, dan Raudhatul Athfal (RA) Jauharotul Mualimin, Kampung Gayau Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah.

Lalu, SD Negeri (SDN) 2 Merak Belantung Kalianda Lampung Selatan dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 Bandarlampung, SMPN 14 Bandarlampung dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 2 Bandarlampung. Lalu, SMAN 5 Bandarlampung, dan SMK Negeri 1 Kalianda serta Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Kalianda Lampung Selatan.

Judulnya percontohan, implementasi PAK di sekolah/madrasah terpilih bak laboratorium uji desain pendidikan antikorupsi, dengan harapan nantinya dapat dihasilkan desain PAK yang benar-benar sesuai kebutuhan satuan pendidikan tersebut.

Ketua Satuan Tugas Pemberdayaan Jejaring Pendidikan KPK, Jermia Djati mengimbukan, guna mengukur ketercapaian intervensi proyek atas implementasi PAK di sekolah/madrasah percontohan ini, KPK melakukan monitoring evaluasi di satuan pendidikan percontohan itu, pakai empat indikator.

Yaitu, ketersediaan sarana dan perangkat implementasi PAK, ketersediaan kebijakan dan regulasi pendukung implementasi PAK, pelaksanaan program PAK, dan perubahan pengetahuan dan perilaku antikorupsi di satuan pendidikan percontohan itu. Yes!

Terkait mahapentingnya ini, alih-alih dengan adanya tragedi tsunami dunia pendidikan kita, dunia pendidikan tinggi, di Lampung, yang menghiasi headline dan juga deadline pemberitaan media massa Tanah Air.

Ulah modus suap penerimaan mahasiswa baru salah satu PTN terbesar kebanggaan pemerintah dan rakyat Lampung, yang turut disebut oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 21 Agustus lalu, telah mencoreng marwah dunia pendidikan yang punya tanggung jawab moral tinggi untuk menghasilkan generasi masa depan bangsa yang berkualitas, unggul, dan berintegritas.

Dan bukan sekadar berpangku, menilik fenomena gunung es yang masih jamak terjadi hingga kini, Ghufron menginjeksi KPK melalui upaya penindakan telah menangani berbagai modus perkara sektor pendidikan.

Melalui strategi pencegahan, dengan mendorong perbaikan sistem dan tata kelola penyelenggaraan pendidikan, dan melalui strategi pendidikan: mendorong implementasi PAK, dua dari tiga strategi besar KPK era Firli Bahuri 2019-2023 ini, selain strategi penindakan.

Nun sekali lagi, Ghufron menggarisbawahi, untuk mencegah korupsi butuh komitmen dan tindakan nyata seluruh pihak, termasuk penyelenggara pendidikan itu sendiri.

Demi pengingat itu, dan demi membersamai energi kinetik dan sinergi demokratik kita, disarikan dari keterangan tertulis kisah getir pengalaman pribadi terkait pentingnya pendidikan untuk mengubah hidup keluar dari kemiskinan, berikut penulis kutipkan kembali, sembahan Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI 2019-2023, di Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2022 lalu itu, selengkapnya.

“Izinkan saya sedikit menceritakan kisah hidup saya yang berubah karena pendidikan. Sebagai bungsu dari enam bersaudara yang berasal dari keluarga miskin di pelosok dusun Sumatera Selatan, saya sangat memahami petuah orang tua terutama ibu, tentang pentingnya pendidikan untuk mengubah keadaan, khususnya kondisi ekonomi keluarga yang sangat sulit saat itu. Dengan segala keterbatasan ekonomi keluarga, apalagi usai ditinggal wafat ayah, saya menguatkan tekad untuk terus sekolah setinggi-tingginya agar nasib dapat berubah, seperti pesan ibu. Berat dan perih memang.

Di kala teman SD berangkat diantar orang tua atau saudaranya dengan sepeda, saya harus berjalan kaki “nyeker” pergi dan pulang ke sekolah sejauh 16 KM setiap hari, karena tidak memiliki sandal apalagi sepatu. Bayar SPP sekolah saat itu juga bukan dengan uang, melainkan “barter” buah kelapa atau durian. Saya bersyukur Kepala Sekolah SD menerima kelapa atau durian atau ikan hasil tangkapan sendiri sebagai pengganti uang SPP.

Semasa SMA, saya ikut kakak mengontrak di dekat SMA 3 Palembang dan saya ingat betul, setiap pulang sekolah bersama kakak, kami mencari ikan di rawa untuk di tukar dengan pisang serta beras ketan. Beras ketan dan pisang tersebut dibuat pepes ketan oleh kakak saya. Sementara saya yang menjualnya ke warung ke warung atau “ngider” dari kampung ke kampung. Dari hasil berjualan pepes ketan, uang ini digunakan untuk membayar uang sekolah.

Untuk membeli peralatan dan keperluan sekolah lainnya, saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang cuci mobil, atau menjual spidol yang saya beli di Pasar Cinde, lalu dijual kembali dengan sedikit keuntungan di Taman Ria Palembang.

Usia tamat SMA, saya tidak memiliki uang untuk melanjutkan jenjang pendidikan di universitas. Untuk itu, saya mendaftarkan diri ikut sekolah yang dibiayai negara yakni Akabri. Sebanyak 3 kali mendaftar, 3 kali juga gagal diterima saat itu.

Kemudian saya memutuskan untuk masuk sekolah Bintara, dan lulus menjadi anggota polisi berpangkat Sersan. Meski sudah bekerja, petuah ibu tentang pentingnya pendidikan tidak pernah saya lupakan sehingga saya memutuskan untuk kembali mengikuti tes Akabri untuk yang keempat dan kelima kalinya. Namun lagi-lagi ia gagal. Barulah kesempatan yang ke-6 pada tahun 1987, saya bisa diterima sebagai Capratar (calon prajurit Taruna).

Alhamdulillah, tes untuk keenam kalinya ini, saya dinyatakan lulus dan mengikuti pendidikan sebagai seorang perwira polisi, perlahan namun pasti menggapai bintang, dan akhirnya kini diberikan mandat sebagaimana saat ini untuk Berkarya kepada bangsa dan negara, mengabdi untuk ibu pertiwi, membebaskan dan membersihkan NKRI dari praktik-praktik korupsi.

Apa yang saya alami, adalah contoh nyata bahwasanya pendidikan menjadi begitu amat penting, mengingat pendidikan sebagai satu upaya mewujudkan tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa, dimana dengan bangsa yang cerdas, maka akan membawa kesejahteraan umum bagi segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, mulai Miangas hingga Pulau Rote.

Dengan semua catatan itu, saya mengajak semua pemuda berani untuk mengatakan pendidikan adalah yang terpenting dalam mencapai cita cita peradaban nasional sebuah bangsa dan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang memajukan kesejahteraan umum dan yang mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut serta di dalam perdamaian dunia yang berdasarkan kepada perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional, mari tanamkan selalu nilai-nilai ANTIKORUPSI dalam setiap jenjang pendidikan di republik ini, agar cita-cita merdeka dari pengaruh laten korupsi, dapat segera kita raih dan wujudkan Indonesia zero kejahatan korupsi.

Sampai sini, tarik napas dulu. Kita rehat “sejedag”. Merujuk data KPK seperti disampaikan Plt Jubir KPK Ali Fikri 10 Mei 2022, sepanjang KPK berdiri, tercatat 310 anggota DPR dan DPRD, 22 gubernur, 148 bupati/walikota, tersandung kasus korupsi. Bukan di negeri wakanda, atau negeri +62, tapi di negeri Zamrud Khatulistiwa, ini.

Baca Juga:  JIWAKU KOSONG

Cegah dan berantas korupsi adalah tugas sejarah, tugas berat kita bersama. Andai, andai, sekali lagi andai, andaikata, di dunia ada SP3 pun, ada statemen case closed. Bagaimana, dengan pengadilan akhirat?

Dari itu, pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 9 Desember 2022 ini,

satu kampanye global inisiasi PBB sejak penandatanganan Konvensi PBB Melawan Korupsi di Mérida, Meksiko 9-11 Desember 2003 untuk meningkatkan kesadaran publik bangun pupuk pugar sikap antikorupsi yang ditetapkan Majelis Umum PBB sebagai Hari Antikorupsi Internasional tiap 9 Desember dan berlaku efektif mulai Desember 2005.

Penulis, hanya bisa berpesan kepada dua buah hati di rumah. Jangan korupsi ya Nak?

“Jangkrik boss!” Ssst, pelan-pelan Nak, nanti Mama dengar. Gubrak!

Selamat Hari Antikorupsi Sedunia. Salam Antikorupsi. (*)

*) ayah dua anak, kontributor Lampungvisual.com

 244 kali dilihat