Oleh: Basri Subur | Jumat, 11 April 2025
Ada satu kenyataan yang tak pernah diajarkan di sekolah, namun harus kita hadapi dalam kehidupan, bahwa kita bisa menjadi segalanya bagi seseorang, lalu tiba-tiba menjadi ‘tak ada apa-apa’ lagi.
Dulu, mungkin ada seseorang yang tak pernah lupa mengabari. Seseorang yang menjadikan kita bagian dari harinya, yang memberi perhatian, dukungan, dan harapan.
Kita merasa dilihat, dianggap penting, dan dihargai. Tapi waktu berjalan, dan semuanya berubah. Perlahan, pesan kita dibaca tapi tak lagi dibalas. Suara kita tak lagi dicari. Keberadaan kita seolah jadi beban, bukan lagi kenyamanan.
Di situ, hati mulai bicara: “Kenapa aku dilupakan? Apa aku sudah tak berarti?”
Sedihnya, sering kali kita tak mendapatkan jawaban. Kita hanya melihat perubahan, dingin yang datang tanpa sebab, jarak yang tiba-tiba tumbuh, dan perhatian yang dialihkan kepada orang lain. Kita masih di tempat yang sama, tapi mereka telah pergi, bahkan tanpa pamit.
Dan di titik itulah kita belajar. Bahwa prioritas itu bisa berpindah. Bahwa kedekatan bisa pudar. Bahwa tak semua orang akan tinggal, meskipun kita telah memberikan segalanya.
Tapi sesakit apapun, kita harus menerima. Bukan karena kita lemah, tapi karena terus berharap pada yang tak lagi melihat kita adalah bentuk paling menyiksa dari penantian.
Kita harus belajar untuk tidak mengambil hati. Karena hati yang terlalu mudah dipatahkan oleh kepergian orang lain, lama-lama akan kehilangan bentuknya. Kita tak bisa menggantungkan harga diri pada perhatian yang tak lagi datang. Kita harus membangun pondasi cinta dari dalam diri sendiri, bukan dari validasi orang lain.
Mungkin mereka telah menemukan orang baru untuk mereka perhatikan. Mungkin prioritas mereka kini bukan lagi kita. Dan itu tidak apa-apa. Sebab kita juga berhak menemukan tempat yang baru, tempat di mana keberadaan kita dihargai tanpa harus meminta, tempat di mana kita menjadi prioritas tanpa harus bersaing.
Tapi untuk saat ini, mari beri waktu pada luka itu untuk bernapas. Mari izinkan diri kita bersedih, bukan karena lemah, tapi karena kita manusia. Manusia yang pernah berharap, pernah percaya, dan pernah menjadi penting… sebelum akhirnya dilupakan.
Dan dibalik semua kesedihan ini, ada satu pelajaran yang pelan-pelan tumbuh, bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya. Kadang, kehilangan adalah cara semesta menunjukkan bahwa sudah waktunya kita memprioritaskan diri sendiri.
Jadi jika hari ini kamu merasa tak lagi berarti di mata seseorang, jangan buru-buru menyalahkan diri. Mungkin kamu bukan lagi prioritas mereka, tapi kamu tetap bisa jadi yang paling berharga… di matamu sendiri.
Diamlah sebentar, peluk hatimu yang rapuh itu, dan bisikkan:
“Aku layak dicintai. Bahkan jika bukan oleh mereka.”