“Rakyat Tidak Boleh Susah, Tetangga Sakit Kita Bantu” (4)

"Rakyat Tidak Boleh Susah, Tetangga Sakit Kita Bantu" (4)
Ketua dan Sekretaris DPW Partai NasDem Lampung, Herman HN dan Fauzan Sibron (atas). Eva-Deddy, Nanang-Pandu bersama Surya Paloh, Agus Istiqlal-A Zulqoini Syarif (bawah). | Foto: Kolase GridArt/nasdem.id/Facebook/Muzzamil
PROFIL & SOSOK

“Rakyat Tidak Boleh Susah, Tetangga Sakit Kita Bantu” (4)
BANDARLAMPUNG-
Penutup bagian terdahulu, sisi beda Partai NasDem di Lampung dalam mengudarakan frekuensi sekaligus mendaratkan eksekusi pengarusutamaan dialektika jerih pengupayaannya dalam jibaku perjuangan politik pilkada, terletak pada fleksibilitas sikap politik elektoralnya.

Itu, antara lain. Fleksibilitas misal tercerna dari respons politik NasDem yang terbujur dalam detailing keluaran (output) kebijakan politik organisasi dalam proses penjaringan hingga pemenangan paslonkada delapan 2015, lima 2017, tiga 2018, pilkada serentak di Lampung, sejak partai ini hadir.

Keputusan final partai bak air, tak beriak apalagi sampai mobs politics tuntut anulir. NasDem adem. Ikut bukukan 8 kemenangan paslon diusung, jawara pilkada 2015-2018.

Dari 16 gelaran, 2015: Bandarlampung (Herman HN-M Yusuf Kohar), Lampung Selatan (Zainudin Hasan-Nanang Ermanto), Metro (Pairin-Djohan), Pesisir Barat (Agus Istiqlal-Erlina).

2017: Tulang Bawang Barat (Umar Ahmad-Fauzi Hasan), Mesuji (Khamami-Saply Th). 2018: Tanggamus (Dewi Handajani-AM Syafi’i), Lampung Utara (Agung Ilmu Mangkunegara-Budi Utomo).

Kuat kesan, ibarat indera tubuh, secara postur NasDem di Lampung berupaya perfeks mengoptimasi daya lentur, demi berfungsi baiknya parpol sebagai senjata legal seleksi politik. Tak melulu kaku lidah kelu. Meski sementara daerah, harus absen belum bisa usung paslon sekalipun.

Ambil contoh, ditarik premis pemisalan dari kecondongan (preferensi) oportunisme kapital, NasDem kuat kesan menjauhkan diri dari itu. NasDem bukan lagi catu daya, tapi telah manifes jadi kapital itu sendiri.

Demi sahihnya pembuktian, yuk bestie, kita paripurnakan penajaman pisau analisanya dengan jejaki balik hasil pilkada 2020. Plus, penyelia jejak napak tilas paslonkada latar calon perseorangan/independen (caden), bagian otokritik performansi parpol.

Pilkada 2020

Pilkada serentak nasional lanjutan masa pandemi 2020, pilkada serentak gelombang keempat bagi kepala daerah produk politik pilkada serentak 9 Desember 2015, di 270 daerah (9 provinsi, 224 kabupaten, 37 kota, 25 daerah diantaranya bercalon tunggal).

Sekaligus pilkada serentak pertama dalam sejarah pilkada Indonesia pascareformasi yang digelar dalam situasi keprihatinan dera situasi kahar dua krisis: kesehatan, ekonomi sekaligus, imbas pandemi musuh terbesar 223 negara terjangkit planet bumi abad ini: COVID-19, pilkada “bermasker”, 9 Desember 2020.

Merujuk situasi, menyusul adagium “keselamatan rakyat hukum tertinggi” jauh sebelum, cemas kolektif potensi transmisi penularan, “klaster pilkada” jadi kosakata baru obrolan asyik jaga jarak fisik Pakde Pakho di kedai kopi, sampai cuit tagar julit rezim senam jari jagat maya, pun elit negeri.

Tak dimungkiri ada ditemukenali, nun secara tata laksana penyelenggaraan, buah ketat sinergi kolaborasi semua entitas pengampu kebijakan pemangku kepentingan pilkada dalam proses eksekusi implementasi PKPU 10/2020 sebagai beleid pengatur mitigasi bencana dan risiko bencana non alam itu.

Walhasil, kontroversi tiada henti, dramaturgi berbulan iringi, redup serampung selempit pelantikan tiba hari. Di Lampung, delapan paslon terpilih sah sandang status terlantik, 26 Februari 2021.

Disebabkan terkoreksi konsekuensi logis kebijakan afirmasi negara terkait lanjutan proses penyederhanaan pilkada serentak nasional bergelombang hingga 2027, mereka ikut periodisasi baru masa bakti, menjabat sampai 2024, periode bakti jadi 2021-2024 sesuai beleid Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 tentang Pilkada berikut konsesi prinsip misal kompensasi hak konstitusional melekat pasangan kepala daerah terpilih.

Termasuk di Bandarlampung, Lampung Selatan dan Pesisir Barat usungan NasDem. Minus Metro, 2020 lewat.

Di Bandarlampung, usai habis dua periode Herman HN tak bisa lagi mencalon, NasDem setia sekode bareng dua dari lima sejawat pengusung 2015. Petahana 5 kursi ini, PDI Perjuangan (9), Gerindra (7) total 21 kursi, didukung parpol nonparlemen peserta Pemilu 2019: Hanura, PKPI, parpol baru Partai Gelora; mengusung paslon nomor urut 3; Eva Dwiana-Deddy Amarullah.

Calon walikota Eva; istri Herman HN, ketua Tim Penggerak PKK 2010-2020, Kwarcab Gerakan Pramuka dan KONI Kota; anggota DPRD Lampung 2014-2019 dan 2019-2020, Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Lampung 2019-2024 Bidang Pariwisata. Cawawalkot, Deddy Amarullah; pensiunan PNS, eks Asisten III Setdakot Bandarlampung, Ketua PMI setempat. Deddy kini kader NasDem.

PKB, PKS, dan Demokrat (parpol mercy Eva pernah bernaung jadi Ketua DPC Demokrat Bandarlampung 2011-2016 di ujung banting setir lompat pagar kandang banteng saat Konferda PDI Perjuangan Lampung 8 Maret 2015 didapuk jadi Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Lampung 2015-2020 Bidang Perempuan dan Anak); beda calon diusung.

Tertolong oleh real count aplikasi e-rekap Gerbang Demokrasi inovasi KPU Kota, dan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU, DPT 647.278, total suara sah 453.270, tidak sah 12.489 di 1.700 TPS di 126 kelurahan 20 kecamatan. Olah data, pencoblos 465.759, tak memilih/golput 181.519.

Resmi, SK KPU Bandarlampung Nomor 766/HK03.1-Kpt/1871/KPU Kot/XII/2020 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pilwalkot-Wawalkot Bandarlampung Tahun 2020, Eva-Deddy mendulang 249.241 suara (57,3 persen).

Runner up, paslon nomor urut 2 diusung gabungan Demokrat (5), PAN (6), PKB (3), Partai Perindo (2), PPP (1), total 17 kursi; duet jenama Yusuf-Tulus Bersatu (Yutuber), wakil walikota petahana 2015-2020, Ketua APINDO Lampung 2004-2020, Wakil Ketua DPD Demokrat Lampung, Muhammad Yusuf Kohar; cawabup Tanggamus pendamping Achmadsyah Putra Pilbup 2002, aleg DPRD Lampung 2014-2019 dan 2019-2020 PDI Perjuangan, cawawalkot Tulus Purnomo Wibowo; beroleh 93.280 suara (21,4 persen).

Juru kunci, paslon 1 duet putra Gubernur Lampung 2004-2014 Sjachroedin ZP, Ketua MPW Pemuda Pancasila Lampung 2005-kini, bupati 2010-2015 cabup Lamsel 2015, Ketua Fokmal, Ketua Harian DPP Lampung Sai, kader Golkar, cawalkot Rycko Menoza SZP; eks cawabup Pesawaran pendamping Pattimura Pilbup 2010, aleg DPRD Lampung (2004-2009, waka 2014-2019, 2019-2020), kader PKS, cawawalkot Johan Sulaiman; raup 92.607 suara (21,3 persen). Rycko Jos diusung sesama 6 kursi Golkar dan PKS, didukung parpol nonparlemen PBB, Partai Garuda, PSI.

Segar ingatan, 2 bacaden: duet akademisi, satu rektor saat itu kandidat doktor, satu wakil rektor profesor doktor, bacawalkot-cawawalkot Dr Ir Firmansyah YA MBA MSc dan Prof Dr Raden Achmadi Bustomi Rosadi MS; serta duet pensiunan jenderal polisi bintang dua, dokter neurolog, bacawalkot-cawawalkot Irjenpol Purn Dr Ike Edwin-dr Zam Zanariah; saat itu gagal tiket.

Firmansyah, aleg DPRD Bandarlampung 2004-2009 DPRD Lampung 2009-2013 dari Golkar, Rektor IIB Darmajaya per 2015, Ketua APTISI II-B Lampung 2016-2021, Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Lampung 2018-2021.

Bustomi, tokoh masyarakat Pasundan: Ketua Forum Masyarakat Sunda Ngumbara Lampung (gelar Raja Guru Alam), pendiri dan direktur pertama Politeknik Pertanian Unila (kini Polinela), Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Air Fakultas Pertanian Unila, Waka Puslitbang Kwarda Gerakan Pramuka Lampung, tokoh Muhammadiyah dan Wanadri, penasihat Ikatan Keluarga Alumni Universitas Padjadjaran (Unpad) Lampung, Wakil Rektor IV IIB Darmajaya.

Ike Edwin, Perdana Menteri Kerajaan Adat Sekala Bekhak Lampung, Kapolda Lampung 2016-2017, Staf Ahli Sosial Politik Kapolri 2017-2018 prapurnabakti Koordinator Staf Ahli Kapolri.

Zam, hijabers dokter ASN spesialis syaraf/neurolog RSUDAM Tanjungkarang; dosen, Kabag Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Unila 2011-kini; Ketua Asosiasi Kesehatan Haji Indonesia (AKHI) Lampung, Ketua Gerakan Nasional Anti Narkoba (Ganas Annar) Majelis Ulama Indonesia Bandarlampung 2018-kini, aktif di IDI, IWAFI Bandarlampung, Forhati, KAHMI Lampung.

Berdasar UU 1/2015, UU 8/2015, UU 10/2016 dan PKPU 16/2019 tentang Perubahan PKPU 15/2019 tentang Tahapan, Program, Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wagub, Bupati dan Wabup, Walikota dan Wawalikota 2020 (hari H pencoblosan masih jadwal lama 23 September 2020), syarat dukungan minimal caden pilkada Bandarlampung 47.864 jiwa (7,5 persen DPT) di 11 dari 20 kecamatan.

Sesuai ketentuan poin dua Romawi tentang Penyelenggaraan, Pemenuhan Persyaratan Dukungan Pasangan Calon Perseorangan butir (e) hingga (j) Lampiran PKPU 16/2019, penyerahan syarat dukungan bacaden Bandarlampung pada 19-23 Februari, pengecekan jumlah dukungan dan sebaran 19-26 Februari, verifikasi administrasi dan Kegandaan Dokumen Dukungan 27 Februari-25 Maret, penyampaian dukungan bapaslon dari KPU Kota ke PPS 26 Maret-2 April, verifikasi faktual tingkat kelurahan 26 Maret-15 April, rekapitulasi dukungan di tingkat kecamatan 16-22 April 2020.

Sekaligus catatan kaki, antiklimaks dua bacaden gagal tahap verifikasi dukungan ini preseden kedua gagalnya bacaden maju pilkada di Bandarlampung sejak 2005. Ini mesin pengingat baik bagi kompleksitas proses himpunan konsolidasi politik kandidat pilkada unsur caden.

Dedah sejarah pilkada Kota Tapis, dari tiga kali penyelenggaraan: 2005, 2010, 2015, kegagalan ini menyusul kegagalan caden Iman Untung Slamet pilkada 2010.

Pilkada 27 Juni 2005, enam paslon: (mendiang) Sjachrazad ZP-Rudi Syawal Sugiarto (Acad-Rudi, Golkar), Nuril Hakim Yohansyah-A Zamzani Yasin (Demokrat), Irfan Nuranda Djafar-Kuswandi (PAN-PPP), Abdul Hakim-Zainal Iskandar (AHZI, PKS), Eddy Sutrisno-Kherlani (PDI Perjuangan dan 5 parpol), Haryanti Syafrin-Tarwo Kusnarno (PKB).

Pilkada Bandarlampung 2005, dicatat buku sejarah pilkada langsung pertama Indonesia pascareformasi, sebagai pilkada langsung dua putaran pertama di Lampung, di Sumatera dan Indonesia, bareng Depok.

Putaran pertama 27 Juni 2005 dua tertinggi Hakim-Zainal 22,91 persen, unggul tipis dari paslon 4 Eddy-Kherlani 22,39 persen.

Putaran kedua 6 Agustus 2005 dibaluri sengit perang diksi “gratis versus bebas” dalam penajaman isu kampanye program unggulan pendidikan dan kesehatan, serta hantu penurunan tajam partisipasi pemilih.

Diwarnai teror bom ke kantor KPUD H-2, Eddy-Kherlani (PDI Perjuangan, 5 parpol plus dukungan baru tujuh parpol), menang atas Hakim-Zainal (PKS didukung Golkar).

Dialektika politiknya kala itu diakui ikut wara-wiri jadi referensi politik dan konten unik isu seksi perbincangan publik nasional. Serta, secara kontekstualitas isu strategis kandidasi politik, memengaruhi rentak gerak maju sentra isu programatik pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat, ke ranah konstitusionalisme, sekaligus tatar tapak.

Baru pada pemilukada 30 Juni 2010, selain paslon nomor urut 4 Eddy Sutrisno-Hantoni Hasan (Demokrat-PKS-PAN), dan paslon 3 Kherlani-Heru Sambodo (Khado) (Golkar), dua pejawat; di barisan penantang selain paslon 2 Herman HN-Thobroni Harun (PDI Perjuangan), ada tiga paslon caden: nomor 6 (mendiang) Dhomiril Hakim Yohansyah-Sugiyanto, nomor 5 Nurdiono-(mendiang) Dian Kurnia Larrate, dan nomor urut 1 (mendiang) Sauki Shobier-Syamsul Rizal.

Caden latar jurnalis/aktivis, insinyur jebolan Fakultas Pertanian Unila sekaligus “Fakultas Teknokra” (jenama populer alumninya bagi UKM Pers Mahasiswa/Persma “Teknokra”,
surat kabar mahasiswa tertua di Indonesia sejak 1977) eks wartawan Lampung Post, Gatra dan SigerTV, Iman Untung Slamet (balon wakil lupa nama) gagal unjuk gigi, tak lolos verifikasi administrasi pencalonan oleh faktor kegagalan teknologi (malfungsi piranti lunak softcopy berkas dukungan).

Terakhir, pilkada 9 Desember 2015, selain dua petahana Herman HN-M Yusuf Kohar dan Thobroni Harun-Komaru Nizar, ada caden M Yunus-Ahmad Muslimin.

Total empat caden pilkada Bandarlampung tiga kurun gelaran, tanpa sadar telah ikut berjasa naikkan indeks Kota Tapis sebagai kota ber-ekosistem politik terbuka kendati ada saja gulma latar kecil fundamentalis.

Dari tinjauan aspek sosio-historiografi politik demokrasi pascaotoritarianisme, sejarah lahir caden juga relatif sudah paten. Publik, entitas pilkada patut berterima kasih pada dua nama representasi pelaku sejarah pembidan kelahirannya. Siapa?

Yakni Lalu Ranggalawe, saat itu anggota DPRD Lombok Tengah NTB, penguji materi UU 32/2004 yang hak sipil politiknya (hak memilih dan dipilih) terganjal syarat parpol sebagai satu-satunya pintu pencalonan.

Dan Jimly Asshiddique, saat itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), pemutus perkara caden berhak ikut pilkada, 23 Juli 2007, cikal bakal UU 12/2008 (Perubahan Ketiga UU 32/2004), dengan alasan ‘semua pintu demi demokrasi harus dibuka’ sebagai satu-satunya pertimbangan Majelis.

Bukan menisbikan, dimaksud melemahkan parpol. Kendati misal, veteran gerakan 1998 kritis melihatnya bagian antitesa oligarki politik parpol belum sepenuhnya hilang akibat residu deideologisasi dan depolitisasi akut rezim Orde Baru 1968-1998.

Saripati Putusan MK 005/PUU.V/2007 itu, caden jadi alternatif calonkada yang tak dapat rekomendasi parpol maju di pilkada hingga demokrasi bisa hidup tanpa adanya pertentangan. Rakyat pemilih yang tentukan sendiri pemimpin baik yang pantas dipilih.

Hukum Online 25 Juli 2007 menulis, menilik putusan, pelaksanaan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengakomodir caden dalam pilkada Aceh, jadi acuan. “MK berpendapat aturan UU Pemda tentang pembatasan caden di luar dukungan partai merupakan dualisme pelaksanaan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang tak mengatur rinci pengisian jabatan Kepala Daerah,” tulisnya.

Sedang pengisian jabatan presiden-wapres, anggota DPR/DPRD, UUD telah menekankan mesti via parpol. Menurut pertimbangan MK dualisme pelaksanaan Pasal 18 ayat (4) UUD itu bakal rentan menimbulkan diskriminasi sehingga melanggar Pasal 28 UUD 1945.

Beda tafsir, Fajrul Falakh, anggota Komisi Hukum Nasional bilang, diskriminasi dalam tafsiran MK soal UU Pemda terlalu memaksakan konsep persamaan hak dalam Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945. “Padahal hak warga negara dalam UUD 1945 juga dibatasi (Pasal 28 J UUD 1945) yang dilakukan dengan UU.”

Sehingga, penafsiran MK soal diskriminasi ini tandas Fajrul khawatir, juga akan berlaku bagi pengkhususan lain seperti pengadilan khusus anak, pemberian bantuan kesehatan orang miskin, misal. “Nanti orang yang tidak miskin juga minta hak sama dengan orang miskin, dengan dalih persamaan hak,” cetus Fajrul, yang senada pendapat dengan Andi Mattalatta, Menkumham saat itu.

Nun seiring waktu, caden mulus peta jalan pilkada Tanah Air. Tercatat, cagub terpilih Nangroe Aceh Darussalam 2007-2012 Irwandi Yusuf, caden pertama pemenang pilkada di Indonesia. Disusul terpilih 2008: Christian N Dillak-Zacharias P Manafe Pilbup Rote Ndou NTT, OK Arya Zulkarnain-Gong Martua Siregar Pilbup Batubara, Sumatera Utara, dan Aceng Fikri-Dicky Chandra di Pilbup Garut Jawa Barat.

Sekadar ilustrasi histeria partisipasi caden, data saat itu Ketua KPU Arief Budiman, dari 734 paslon pendaftar pilkada 2020, ada 67 bacaden. 2018, ada 69 paslon pendaftar.

Kedepan, publik berharap caden jangan cuma pelengkap penderita. Senyampang, titi institusionalisasi demokrasi kian nyata hasil menuju tata konsolidasi penuh.

Pengalaman mengajarkan, caden harus hidup bersama dan hidupi mesin politik mandirinya, sehingga idealisasi totalitas kerja-kerja konsolidasi politik elektoralnya mesti relatif lebih terlatih, lebih berpeluh, tak banyak keluh. Caden, bagian senjata legal kedaulatan rakyat, tak melulu alat uji eksperimentasi kekuasaan politik.

Publik pun berharap, jangan sampai larut preseden pilkada cuma diikuti paslon caden lawan kotak kosong. Sebab andai itu terjadi, dinilai pertanda buruk matinya mesin politik, penanda gagal terpuruk fungsi parpol: akomodasi, agregasi, seleksi, edukasi politik. Yang, masih saja kaya kesan publik akar rumput bahwa hajat pesta demokrasi pemilu dan pilkada cuma sebatas electoral machine, mesin pengumpul suara belaka.

“Rakyat sekadar obyek data, obyek kata, obyek penderita. Bukan lagi masanya.”

Dari sisi penyelenggaraan, caden pelik himpunan konsolidasi elektoral. Kudu matang di semua tahap pelaksanaan umum/teknis. Mayoritas gagal di proses administrasi dan pemenuhan syarat minimal dukungan.

Beruntung, dan publik pun berterima kasih kepada Fadjroel Rachman, Saut Mangatas Sinaga, dan Victor Santoso Tandiasa, tiga pelaku sejarah pemohon uji materi Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU 8/2015 tentang Pilkada. Ketiganya menyoal beleid pengatur syarat dukungan minimal caden, berbuah manis putusan MK mengabulkan sebagian, 29 September 2015.

Dalil pemohon, beleid telah mempersempit peluang dicalonkan dalam pilkada. Secara spesifik, kerugian hak konstitusional terjadi atas kepastian hukum, perlakuan dan hak yang sama dalam memeroleh jabatan dalam pemerintahan.

Disitat dari reportase jurnalis Liputan6.com, Oscar Ferri, 30 September 2015 dini hari, diakses ulang dari Bandarlampung, Selasa (5/4/2022), amar putusan Majelis Hakim Konstitusi dipimpin sekaligus membacakan, Ketua Majelis, Arief Hidayat (saat itu Ketua MK) menyatakan, MK mengubah aturan syarat caden, dari “jumlah keseluruhan masyarakat di suatu daerah”, menjadi “harus menggunakan jumlah pemilih dalam DPT dalam pemilu sebelumnya.”

Mahkamah menyatakan, “Pasal 41 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan didasarkan pada jumlah keseluruhan penduduk,” ujar Arief.

‎Mahkamah mempertimbangkan, Pasal 41 ayat 1 dan 2 itu telah mengabaikan prinsip keadilan, sehingga mengabaikan semangat kesetaraan di muka hukum. Persentase syarat dukungan tak dapat didasarkan pada jumlah penduduk. Apa pasal?

Sebab tak semua penduduk punya hak pilih. Dari itu, “Keterpilihan kepala daerah bukan ditentukan jumlah penduduk keseluruhan, tapi yang sudah punya hak pilih,” kata Arief.

Juga mempertimbangkan, pasal-ayat itu telah hambat seseorang memeroleh hak sama dalam pemerintahan. Syarat caden beda syarat calon diusung-didukung parpol dimana syarat pencalonan ditentukan via perolehan suara berdasar DPT.

“Bunyi pasal tersebut harus dimaknai jumlah penduduk yang sudah memiliki hak suara yang tetap,” kata Arief, di sidang bersejarah penggenap akses lebih luas caden itu kelak. Putusan menyatakan calonkada jalur caden harus bersyarat DPT baru berlaku di pilkada serentak tahap II/2017, belum di 2015.

Pengingat, Pasal 41 ayat 1 dan 2 UU 8/2015 mensyaratkan, dukungan minimal 10 persen bagi daerah berjumlah penduduk sampai 2 juta jiwa, 2-6 juta jiwa (8,5 persen), lebih dari 6-12 juta jiwa (7,5 persen), lebih dari 12 juta jiwa (6,5 persen).

Beleid teranyar untuk pilgub: daerah dengan jumlah DPT 0-2 juta jiwa minimal 10 persen, DPT 2-6 juta (8,5 persen), DPT 6-12 juta (7,5 persen), DPT lebih dari 12 juta (6,5 persen). Dan, pilbup/pilwalkot: DPT 0-250 ribu (10 persen), DPT 250-500 ribu (8,5 persen), DPT 500 ribu-1 juta (7,5 persen), DPT lebih dari 1 juta (6,5 persen). Sebarannya harus di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota (pilgub), dan kecamatan (pilbup/pilwalkot).

Caden dari sisi infrastruktur politik adalah investasi politik, komunikan alternatif modalitas sosial perjuangan ekonomi politik perebutan kekuasaan dan kesejahteraan rakyat. Caden dari sisi politik kerakyatan, populisme, gelora kehidupannya harus didorong melembaga sepanjang periode. Tak ramai satu dua warsa jelang suksesi kekuasaan.

Lampung juga menoreh sejarah caden menang pilkada. Perdana, (meski sarat kontroversi status hukum tersangka kasus korupsi) caden bupati petahana, Satono, cawabupnya eks ketua KPUD setempat, Erwin Arifin menang telak di pilkada Lampung Timur 2010, 49 persen! Keduanya kini mendiang.

Menyusul satu dekade kemudian, paslon terpilih pilkada Metro 2020, caden Wahdi Siradjudin-Qomaru Zaman. Mengagetkan.

Tak lupa, Lahul Fatihah untuk Sjachrazad ZP, Dhomiril Hakim Yohansyah, Sauki Shobier, Dian Kurnia Laratte, Mudiyanto Thoyib, Satono dan Erwin Arifin, para mendiang veteran caden pilkada di Lampung.

Masih ada tujuh pilkada 2020 lainnya. Pun, taji Partai NasDem disana. Pantengin terus ya? Bersambung. [red/Muzzamil]

Youtube:Lampungvisual.com

Loading