Penulis : Lutfansyah
Beberapa hari terakhir, media sosial, terutama Facebook, diramaikan oleh beredarnya sebuah foto yang menunjukkan seorang narapidana di Lapas Kelas IIA Kotabumi, Lampung Utara, sedang menghisap sabu. Publik gempar, wajar saja. Foto itu bukan hanya menunjukkan kegagalan pengawasan, tetapi membuka tabir kelam peredaran narkoba yang diduga kuat dikendalikan dari balik jeruji.
Yang lebih menyedihkan, bukannya segera mengambil sikap tegas dan terbuka, pihak Lapas justru terlihat panik dan kebingungan. Kepala Lapas sempat menyatakan bahwa foto tersebut adalah dokumentasi lama, dua tahun lalu. Namun, hanya dalam hitungan hari, pernyataan itu diralat. Melalui Kasi Administrasi Keamanan dan Ketertiban Lapas Kelas IIA Kotabumi Zuhir Hendri mengatakan foto tersebut adalah foto di tahun 2024 lalu, tepatnya di bulan Juni.
Disaat kedua keterangan tersebut dijadikan ‘tameng’, terdapat dua petikan data putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Kotabumi yang tak terbantahkan.
Dimana putusan Pengadilan Negeri Kotabumi tertanggal 11 September 2024 dengan nomor 180/PID.B/2024/PN, menyebutkan Nando Pratama bersama tiga rekannya ditetapkan bersalah oleh Pengadilan Negeri Kotabumi dan menjatuhkan hukuman penjara 4 bulan dalam kasus tindak pidana Pencurian.
Kemudian putusan pengadilan dengan nomor perkara 255/Pid.B/2023/PN Kbu tanggal putusan Senin, 11 Desember 2023 mengadili M. Alrado Ananda Hakim dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pencurian dan diputuskan hukuman penjara selama 1 tahun 4 bulan.
Perubahan keterangan ini bukan sekadar kesalahan komunikasi. Ini adalah bukti bahwa pihak lapas sendiri tidak solid, tidak transparan, bahkan mungkin mencoba menutupi fakta sebenarnya. Kepanikan ini justru menguatkan dugaan publik bahwa ada yang lebih besar sedang disembunyikan.
Pertanyaannya: bagaimana bisa seorang narapidana mendapatkan sabu, alat hisap, bahkan cukup ruang untuk berfoto dalam keadaan santai mengkonsumsinya? Jika benar napi tersebut adalah bandar yang menjalankan jaringan peredaran sabu dari dalam lapas, maka ada dua kemungkinan pahit, kelalaian atau keterlibatan.
Kita tidak bisa lagi menoleransi narasi klasik “pengawasan kurang”, “kekurangan personel”, atau “oknum”. Sudah terlalu sering istilah “oknum” digunakan sebagai tameng untuk menutupi kebusukan sistemik. Fakta bahwa narkoba bisa masuk, dikonsumsi, bahkan diedarkan dari dalam penjara menunjukkan bahwa ada sistem yang sangat lemah, atau sengaja dilemahkan.
Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, harus turun tangan langsung. Jangan hanya mengandalkan laporan internal yang bisa dengan mudah dimanipulasi. Diperlukan audit menyeluruh, investigasi independen, dan sanksi tegas, termasuk pemecatan dan proses hukum terhadap pihak-pihak yang terbukti lalai atau terlibat.
Lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan tempat nyaman bagi bandar narkoba. Jika ini terus dibiarkan, maka jangan salahkan publik bila mulai menganggap bahwa penjara hanyalah formalitas, sementara kejahatan tetap berjaya di dalamnya.
Kasus di Lapas Kotabumi adalah alarm keras bagi seluruh lapas di Indonesia. Jangan tunggu foto lain viral, jangan tunggu kemarahan publik membesar. Sudah saatnya kita tidak hanya bereaksi, tapi bertindak dengan serius dan menyeluruh.
Kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum sudah cukup lama tergerus. Jangan sampai insiden ini menambah luka yang belum sembuh. Karena jika penjara tidak lagi mampu menjadi penjara, maka keadilan tinggal nama, dan hukum hanya ilusi. (*)