Lulus kuliah, Sarjana Desain dan Komunikasi Visual Universitas Trisakti ini 1997 dan 1999 pernah koresponden The Sydney Morning Herald dan The Age Melbourne, dua koran Australia, meliput di Timor-Timur (Timtim) dan Aceh, tak disangka sepekan sekembali dari Timtim pascateror dirinya oleh milisi, liputannya soal Timtim pascareferendum diganjar Walkley Award, dan berhenti saat sang ayah terpilih presiden.
“Apa ya yang menarik sehingga saya semangat untuk hadir?” Yenny bertanya. Jelas ada sesuatu yang penting, melatari keputusannya hadir, hari ke-32 usai 11 tahun Haul Gus Dur 30 Desember 2020 lalu itu.
Ia mengafirmasi, “Masjid yang diresmikan ini diberikan nama Masjid KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), suatu kehormatan bagi saya dan keluarga nama Gus Dur diabadikan sebagai nama Masjid,” unggahan, sekaligus jawabannya.
Senada penasaran publik latar pemberian nama masjid, “Saya kemudian bertanya ke Pak Benny alasan memilih nama Gus Dur, beliau dengan jelas menjawab ingin mengenang Gus Dur sosok yang memiliki keberpihakan dan kepedulian terhadap pekerja migran Indonesia,” imbuh Yenny, kelahiran Jombang, 29 Oktober 1974 ini.
Mengutip Benny, ia menuturkan, Gus Dur memiliki pengalaman pribadi menjadi pekerja migran di luar negeri ketika kuliah.
“Saya ingat ketika Gus Dur bercerita semasa studi di luar negeri atas beasiswa yang hanya cukup untuk membiayai kuliah, sehingga beliau harus menjadi part timer bersih-bersih kapal di Belanda, dan pekerja pemecah batu,” kenang Yenny, Direktur Wahid Institute diriannya sejak 2004 itu hingga kini.
Klik Halaman Berikutnya Untuk Lanjut Membaca