Sosiolog Ini Soroti Sakai Sambayan & Filantropi di Tengah Pandemi, Filantrop Ini Donasikan Penjualan Bukunya Bagi Yatim & Dhuafa Terdampak Pandemi

(Sosiolog cum antropolog, akademisi FISIP Universitas Lampung (Unila), peneliti sosiokultur masyarakat adat/hukum adat Lampung, Dr Bartoven Vivit Nurdin. | FISIP Unila)
PROFIL & SOSOK

BANDARLAMPUNG-
Akademisi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (Unila) Dr Bartoven Vivit Nurdin, pernah menuliskan pentingnya kedermawanan sebagai modal sosial menanggulangi dampak pandemi Covid-19.

Salah satu dosen terbaik FISIP Unila itu menulis di rubrik opini Lampung Post, lima bulan lalu, tertarikh 13 April 2020, terekam pula jejak digitalnya di Kolom Pakar laman resmi Unila, redaksi kutip kembali, diakses Jum’at (11/9/2020).

(Beli buku ini, ‘Jeda dan Secangkir Asa, Catatan dan Harapan Andi Desfiandi’, sama dengan berdonasi Rp75 ribu bagi tenaga medis penanganan, serta yatim piatu dan kaum dhuafa rentan ekonomi terdampak COVID-19. | Grafis: Yayasan Alfian Husin)

Vivit menulis, terpuruknya pendapatan masyarakat adalah dampak (pandemi) paling buruk dirasakan saat ini. “Geliat perekonomian masyarakat menengah ke bawah adalah bagian yang paling merasakan gebukan paling menyakitkan,” Vivit impresif.

Menurutnya, dampak yang paling mengerikan bukan hanya kematian atas virus itu sendiri, melainkan juga kematian akan kemiskinan dan kelaparan akibat banyak tidak mendapatkan pendapatan lagi.

Beberapa bulan terakhir, dunia menghadapi pandemi ini. “Banyak hal yang tidak bisa diprediksi dampaknya, mulai dari kelangkaan masker, penyanitasi tangan, dan vitamin C yang sulit dicari di pasaran. Meskipun tersedia, harganya melambung tinggi,” tulisnya lagi.

Kelahiran Padang, Sumatera Barat, 1 April 1977, jebolan SMAN 8 Padang (1994), alumnus Jurusan Sosiologi Universitas Andalas (1998) itu juga merekam fakta empiris masa-masa bergulir pascapandemi merebak.

“Belum lagi minimnya ketersediaan APD bagi tenaga medis sebagai garda terdepan. Bahkan, di negara-negara lain terjadi panic buying yang telah memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat, terutama negara yang melakukan lockdown.”

Di Indonesia, banyak cara yang dilakukan untuk mengantisipasi wabah ini. Pemerintah harus berpikir keras.

“Pemerintah harus berpikir keras untuk membuat sebuah rekayasa sosial agar penduduk tetap di rumah, menjaga jarak sosial, menghentikan segala kegiatan yang mengumpulkan orang banyak, membuat program bekerja dari rumah dan belajar di rumah, serta mengimbau memakai masker dan mencuci tangan,” lanjut ia.

Berbagai cara juga dilakukan dengan melibatkan media untuk mengimbau dengan bermacam sosialisasi, dengan mengeluarkan maklumat Kapolri, membuat aturan hukum, sampai keputusan untuk melakukan PSBB.

Peraih Magister Sains Antropologi Universitas Indonesia (UI) pada 2001, disusul gelar Doctor of Philosophy (2006) bidang dan kampus yang sama itu, mengelaborasi kondisi obyektif imbas pandemi sesuai stratifikasi sosial ekonomi khas corak produksi sistem kapitalisme saat ini.

“Bagi masyarakat ekonomi kelas menengah atas, mungkin tidak terlalu terkena dampaknya. Memiliki tabungan cukup untuk hidup dan pendapatan tetap, cukup membuat penduduk tetap di rumah,” catatnya.

Mereka dapat melakukannya dengan berlangganan televisi kabel, berinternet, menyalurkan hobi memasak, berolahraga, dan segala aktivitas lain bersama keluarga.

Namun untuk (masyarakat ekonomi) kelas bawah yang berpikir makan apa hari ini, seperti ojol, pedagang keliling, pekerja warung makan dan sebagainya pandemi ini telah memberikan dampak serius terhadap masalah sosial ekonomi yang baru, yakni kemiskinan dan kelaparan, cetus Vivit.

“Geliat perekonomian telah benar-benar merasakan dampak luar biasa dari pandemi ini,” lugasnya.

Tak pelak, “Pemerintah telah memutar otak bagaimana ini tidak terlalu berdampak menghantam masyarakat, terutama sektor ekonomi,” terusnya.

Catatnya, beberapa hal telah dilakukan dengan keringanan pembayaran listrik dan bantuan sosial lainnya seperti Jaring Pengaman Sosial.

Vivit sadar, menyorong gotong royong adalah penting. “Dalam menghadapi ini pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri. Sangat diperlukan kerja sama semua pihak agar pandemi ini segera berakhir,” gugahnya.

Maka itu, banyak aksi kedermawanan sosial telah dilakukan berbagai kalangan saat ini, baik perorangan, yayasan, kelompok, ataupun perusahaan, sambungnya di kolom.

Sesuai judul opininya, “Covid-19 dan Filantropi”, mantan ketua Pusat Studi Budaya Unila itu membedah filantropi dalam bujur terminologis dan historis. “Dalam sosiologi dan antropologi, kita mengenal konsep filantropi, yakni cinta pada sesama manusia (philos artinya cinta, anthropos artinya manusia).”

Aksi filantropi ini kemudian diwujudkan dengan perilaku dermawan dan kecintaan pada sesama. Atau lebih tepatnya, kedermawanan sosial.

Baca Juga:  Mangkus, Capaian 100 Juta Vaksinasi, 'Kawal' Jokowi Tinjau Vaksinasi Lampung

Sejarahnya tradisi ini sebetulnya sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno. Mereka menyumbangkan harta benda untuk keperluan orang banyak seperti pendidikan.

Juga di zaman Mesir Kuno, yang menyumbangkan tanahnya untuk dimanfaatkan pemuka agama dan khalayak ramai untuk kepentingan umum.

Indonesia adalah negara yang terkenal dengan kedermawanannya. Yakni, dengan tradisi gotong royong dan tolong-menolong sejak dahulu kala, menyumbangkan waktu, uang, dan tenaga untuk orang lain.

“Maka itu, semestinya masyarakat Indonesia tidak asing lagi dengan tradisi semacam ini,” poin pengampu penghargaan tahunan The SCP 2014 Distinguished Scientific Achievement Award dari Society for Consumer Psychological (SCP), lembaga sejak 1962 berbasis di Amerika Serikat itu.

Vivit menggarisbawahi, filantropi bisa dikatakan sebagai sebuah modal sosial bagi masyarakat dalam menghadapi pandemi ini.

Telah banyak berbagai pihak lakukan berbagai aksi sosial untuk membantu saudara yang terdampak pandemi ini.

“Sebab, meskipun ini adalah tanggung jawab pemerintah, kerja sama dari berbagai pihak sangat membantu mempercepat berlalunya pandemi ini,” ia menjelenterehkan.

Dosen sejak 2005 ini berpandangan, pihak yang paling dianggap mumpuni lakukan ini salah satunya pihak swasta terutama perusahaan-perusahaan besar, yang sebagian besar mestinya memiliki program filantropi dan CSR.

“Pada saat seperti inilah, pelaksanaan filantropi sangatlah ditunggu bagi menanggulangi krisis yang menimpa masyarakat,” tandasnya.

Perusahaan besar menjalankan program ini sebagai bentuk aksi kedermawanan sosial pada masyarakat di tengah pandemi ini.

Filantropi sifatnya berkelanjutan dan jangka panjang, dampaknya sangatlah luas, serta terorganisasi dan terukur.

Sekilas filantropi ini mirip dengan CSR, tetapi bedanya CSR untuk core bisnis, sedangkan filantropi relevan saat pandemi seperti ini.

Maka itu, perlu dibuat sebuah rekayasa sosial, bagaimana caranya filantropi ini dipacu pihak-pihak yang mumpuni untuk melakukannya.

Sebenarnya, ini bukanlah hal sulit dilakukan karena filantropi merupakan modal sosial yang sudah ada dalam masyarakat Indonesia. “Apalagi, Indonesia pernah dinobatkan menjadi salah satu negara paling dermawan di dunia,” Vivit mengintensi.

Artinya, gotong royong dan saling membantu pada masa kesulitan bukanlah sesuatu yang asing pada masyarakat Indonesia.

Nah, sampai disini, sudahkah terbersit rasa bangga kita sebagai anak bangsa yang dikenal dermawan?

Selanjutnya, #dosenkece jago renang hobi jalan-jalan ini, menggembirakan kita, memboyong memori kolektif kita terhadap salah satu bagian tradisi nilai dasar kesatuan falsafah adat Lampung ‘Piil Pesenggiri’, satu modalitas sosial terbesar tak terbayar, Sakai Sambayan.

“Gotong royong dan kedermawanan sosial merupakan ciri khas masyarakat Indonesia dan kearifan lokal yang ada dan berkembang dalam masyarakat Indonesia,” urai Vivit.

Misalnya, dalam masyarakat Lampung, masyarakat yang heterogen penuh rasa gotong royong yang merupakan salah satu karakter dalam budaya Lampung, yakni Sakai Sambayan.

“Sakai Sambayan, merupakan budaya tolong-menolong dalam masyarakat yang sudah ada dalam kehidupan masyarakat Lampung sejak dahulu kala,” peneliti sosiokultur masyarakat adat-hukum adat Lampung ini sahih.

Di tengah pandemi inilah, rasa Sakai Sambayan kita diuji untuk terus mempertahankan identitas dan karakter budaya luhur tersebut.

“Sakai Sambayan perlu terus kita tumbuhkan dan gaungkan di masa pandemi ini agar tercipta budaya gotong royong dan kedermawanan sosial,” terus Vivit, menambahkan itu bukan saja dari pihak-pihak pribadi, juga dari kelompok, yayasan, dan perusahaan untuk melakukan berbagai aksi kedermawanan sosial.

Membantu golongan masyarakat yang terkena imbas dampak pandemi yang mengerikan ini.

“Beberapa hasil penelitian saya menjelaskan masyarakat Lampung merupakan masyarakat yang terbuka akan perubahan,” ungkapnya. Vivit, pernah memukau publik kampus di Jepang, Malaysia, dan Thailand, saat mempresentasikan kekayaan budaya Lampung dalam visitasi hasil risetnya.

Meski kebudayaan telah mengalami berbagai pergeseran, hipotesisnya, ada satu yang tidak berubah, yakni identitas dan karakter, salah satunya adalah Sakai Sambayan, yakni gotong royong dan kedermawanan sosial.

Baca Juga:  Sesuai Arahan Jokowi, Menkes: Enam Poin Transformasi Sistem Kesehatan 2021-2024

(Sakai Sambayan) ini, lugas istri Irsan Idris itu, adalah core culture yang mestinya dimiliki masyarakat Lampung dan dibutuhkan untuk kondisi pandemi ini baik bagi perorangan/kelompok, yayasan dan perusahaan, serta pihak-pihak lainnya menghadapi pandemi.

Satu poin. Perusahaan khususnya, ia resolutif, semestinya menjadikan Sakai Sambayan sebagai budaya perusahaan dalam mengembangkan bisnisnya dalam program filantropi.

“Dengan membangun budaya ini, keadaan pelik saat ini akan dapat diatasi dengan baik. Terakhir, tidak pernah putus doa, semoga pandemi ini segera berlalu,” pungkas dosen yang senantiasa tampil berkacamata ini.

Tambahan informasi, Vivit sendiri juga aktif dalam kepengurusan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Adat Lampung (Yapemal), institusi badan hukum yayasan dengan pemusatan pergerakan bidang pendidikan, sosial budaya dan ekonomi, kelahiran 2018.

Yapemal dibangun dengan semangat persatuan dan kesadaran masyarakat adat Lampung untuk ikut serta dalam pembangunan. Menaungi sedikitnya 62 marga adat di Lampung, diketuai oleh Guru Besar Fakultas Pertanian Unila Prof Wan Abbas Zakaria.

Mantan Danjen Kopassus dan Kasad, terakhir Menteri Pertahanan Kabinet Kerja Jokowi-JK 2014-2019, Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu, pengampu gelar adat Sutan Tuan Kacca Makhga, duduk sebagai ketua dewan pembina.

Dari Doktor Vivit, meski sama sekali berbeda tekstualitas, namun karena beririsan kontekstualitasnya terkait filantropi, dan kedermawanan sosial faktual dalam wujud respons aktif partisipasi solidaritas kemanusiaan membantu saudara-saudara kita yang kurang mampu dan kalangan rentan terdampak ekonomi imbas pandemi, kita bergeser ke sosok Doktor Andi Desfiandi.

Sejawat Vivit satu ini, Ketua Yayasan
Alfian Husin, yang menaungi belasan institusi pendidikan, kesehatan, dan advokasi hukum serta pengembangan properti ini, kiranya patut disemati gelar filantrop merujuk ulasan Vivit.

Andi Desfiandi, pimpinan yayasan pengampu kampus biru IIB Darmajaya, TK dan SDIT Pelangi, (SD-SMP-SMA) Sekolah Darma Bangsa, start-up PT Darmajaya Digital Solution (DJ Corp), Ponpes Annida, RSIA Belleza Kedaton, Kedamaian Mansion, Emerald Hill Residence Bandarlampung, dan LBH Darmapala itu, hampir sebulan terakhir disibukkan promo buku.

Buku? Ya, karyanya, bertajuk “Jeda dan Secangkir Asa: Catatan dan Harapan Andi Desfiandi” yang diluncur-minikan di Bandarlampung, bertepatan dengan momentum peringatan HUT ke-75 RI pada 17 Agustus 2020 lalu.

Buku himpunan perbendaharaan dari seabreg tulisan opini publik, pendapat dan tulisan lepasnya terkait berbagai isu-isu tematik aktual yang terserak di berbagai artikel media massa, cetak maupun daring, serta media sosial.

Buku ini, self-publishing. “Cetakan awal 1000 eksemplar,” balas Andi via pesan singkat, pukul 12.25 Waktu Indonesia Barat, Kamis 27 Agustus 2020 lalu.

Dikejar tanya adakah rencana cetakan kedua nantinya, “Kalau permintaan ada Inshaallah,” sahutnya diplomatis, lima menit kemudian. Andi yang juga Ketua Lembaga Perekonomian NU Lampung itu konon surprise. Buku ini terkesan diam-diam. Tahu-tahu, sudah terbit aja.

Sekretaris yayasan, Lili Diana, yang juga narahubung penjualan buku itu, mengungkap ritme teratur penjualan sesuai pemesanan. “Beguyur Pak. Iyaa Pak,” Lili ramah, dikonfirmasi terpisah, Kamis (10/9/2020) malam.

Asal tahu, selain isinya, yang menarik dari penerbitan buku ini adalah misi mulia penulisnya. “Seluruh keuntungan penjualan buku, disumbangkan,” Andi mengumumkan, saat soft-launch.

Benar saja, dari poster digital (e-flyer) yang diedarkan, diketahui jika seluruh keuntungan penjualannya nanti akan dia sumbangkan untuk panti asuhan, tenaga medis, dan masyarakat dalam solidaritas melawan COVID-19.

Adapun, dari semula Rp99 ribu, Andi mem-PO (pre-order) harga buku ini dibanderol Rp75 ribu, per eksemplar.

Tak terbatas bagi para pehobi baca, penggila buku, maupun pegiat literasi, siapa saja peminat buku ini untuk turut menambah wawasan pengetahuan sekaligus berdonasi kemanusiaan, bisa memesannya langsung dengan mengontak dua narahubung, Lili Diana di nomor 083160112694, dan Fia, staf yayasan lainnya, di 082282942704.

Jika penasaran mau kepoin isinya, boleh simak padukan penuturan komentar kata pengantar buku dari dua tokoh terdapuk berikut.

Baca Juga:  LIPI Survei Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Ekonomi Rumah Tangga Indonesia

Menteri Agama (Menag) Kabinet Indonesia Maju Jenderal TNI Purn Fachrul Razi, meski tak mengaku butuh “jeda” waktu khusus melalap habis “secangkir asa” isi buku, dia namun.

“Setelah membaca satu persatu artikel yang ditulis oleh Saudara Andi Desfiandi ini, saya baru dapat menghela napas lega karena isinya sesungguhnya catatan dan harapan penulis yang mengidamkan berdiri tegaknya nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Fachrul menjawab penasaran.

Entah kebetulan atau tidak, ungkapan pimpinan Andi di ormas Pejuang Bravo Lima (PBL) ini –Fachrul ketua umum DPP PBL, Andi ketua DPP PBL bidang ekonomi, mengelindan calon pembaca melihat sudut dalam transedental saat melalap isi buku tersaji.

“Saya menyadari bahwa dalam konteks Indonesia khususnya, nyaris tidak ada aspek kehidupan warga negara yang tidak bisa dikaitkan dengan agama,” tandas Fachrul.

Mengapa demikian? “Karena secara sosial kultural masyarakat kita sangat agamis, sehingga semua ucapan, sikap, dan tindakan seseorang niscaya dipengaruhi oleh nilai-nilai moral keagamaan,” sambung dia.

Dari itu, Fachrul menarik simpul. “Begitulah saya memahami dan menempatkan konteks fikiran-fikiran penulis dalam buku ini,” lugas dia.

Wah, ulasan pak menteri bikin makin penasaran aja, nih. Nah, beda pak menteri, beda pak bupati.

“Lewat tulisan dan konsep-konsep terkait kebijakan ekonomi nasional, pendidikan, politik, sosial tersebut, Andi Desfiandi menuangkannya dalam buku Jeda dan Secangkir Asa, harapannya dengan tulisan-tulisan yang ada pada buku ini menjadi motivasi dan inspirasi tersendiri bagi pembacanya,” tutur Dendi Ramadhona Kaligis ST MTrIP, Bupati Pesawaran.

Selain menginspirasi, bupati milenial bakal petahana pilkada kabupaten Bumi Andan Jejama didampingi bakal pasangan Kolonel Purn S Marzuki itu berharap kedepan opini publik Andi Desfiandi terus makin jadi referensi.

“Semoga ke depan pemikiran dan tulisan-tulisan beliau menjadi referensi tersendiri sehingga menuai manfaat positif bagi kita semua,” tuntas Dendi.

Menutup artikel, sekali lagi, meski tak terkait langsung, sorot jernih sosiolog cum antropolog, akademisi FISIP Unila Bartoven Vivit Nurdin soal urgensi pembumian filantropi tengah pandemi yang telah lampau mewaris dalam nilai semangat Sakai Sambayan di atas, seperti bertemu sauh dengan apa yang coba diikhtiarkan Andi Desfiandi.

Catatan redaksi, salah satu aksentuasi kebersamaan kedua sosok intelektual organik cerdas ini nan melegenda, yakni progresivitas mereka di barisan pejuang pengusulan kajian ilmiah Lampung sebagai alternatif calon lokasi ibu kota pusat pemerintahan negara RI pengganti DKI Jakarta.

Dimana, Vivit salah satu narasumber FGD DKI Lampung sesi pertama, di Hotel Emersia Bandarlampung, pada 15 Agustus 2017 lalu. Andi Desfiandi, inisiator FGD DKI Lampung itu, lantas bertransformasi sekaligus jadi Ketua Harian Tim Relawan DKI Lampung.

Sidang Pembaca, banyak jalan menuju Roma. Banyak cara menolong sesama. Meneladani keberdalaman opini Vivit, meneladani kedermawanan sosial Andi Desfiandi, tak ada mudharatnya.

Seperti biasa, oleh karena sehat dan kesehatan tak dapat diwakilkan, tetap pakai masker dan faceshield jika Anda berkegiatan di luar rumah atau ruang publik, tetap jaga jarak fisik minimal satu meter, tetap hindari kerumunan dan berkerumun, sesering mungkin cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir, dan selalu akhiri dengan doa terbaik agar wabah corona ini segera musnah dari muka bumi. Aamiin. Tetap semangat. [red/Muzzamil]

 1,128 kali dilihat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.