Lepas semana efektif intervensi pemerintah hadapi krisis COVID-19, penyala solidaritas sosial di masyarakat berelasi erat dengan karakter milik masyarakat lokal. Meski begitu intervensi pemerintah tetap diperlukan, “agar solidaritas sosial ini dapat berlangsung lebih panjang, sebab belum bisa diprediksi sampai kapan krisis ini akan berakhir.”
Narasumber sosiolog/Ketua Prodi Sosiologi Fisipol UGM, Dr Arie Sujito, berpendapat solidaritas sosial ditunjukkan saat hadapi pandemi COVID-19, antara lain inisiasi masyarakat di level komunitas melakukan perlindungan diri, baik terkait soal kesehatan, keamanan dan kenyamanan yang bertajuk “lockdown komunitas”. Bersama lakukan penyemprotan disinfektan di lingkungan, membagi masker, hand sanitizer, kampanye stay at home, isolasi keluarga dan lain-lain.
Belum lagi gerakan kemanusiaan berbasis sosial ekonomi, dari charity sampai jaminan sosial warga: bantuan makanan, subsidi kelompok rentan, solidaritas potong gaji dan lain-lain, kampanye literasi sosial antara lain peduli sehat dan solidaritas bantu korban.
Arie mengakui persoalan pandemi COVID-19 bukan saja persoalan kesehatan, namun juga berdampak sosial. “Disitu ada ketegangan, kecurigaan, ketidakpercayaan, juga persoalan kemerosotan ekonomi yang melahirkan kesenjangan sosial yang sangat berpotensi memunculkan konflik kekerasan, dan kriminalitas,” kata Arie, disitat diakses dari reportase Agung Nugroho di laman UGM, Sabtu (14/8/2021).
Beda sudut, sebagian masyarakat lain masih ada yang menerjemahkan physical and social distancing” secara berlebihan, hingga memunculkan provokasi dan menciptakan eksklusi sosial sampai ada insiden penolakan pemakaman, penutupan akses dan tindakan kontraproduktif lainnya.