Resmen Kadafi Harap Kejati Lampung Masif Sosialisasikan Pedoman Kejaksaan 1/2021

Bersambung Baca Ke Pages Selanjutnya
Advokat yang juga Ketua Badan Pengurus Daerah (BPD) Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Lampung, Resmen Kadafi, S.H., M.H. | dokpri
BANDAR LAMPUNGPROFIL & SOSOK

Terungkap, beleid ini jadi terobosan baru peretas kekosongan hukum implementasi UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT, wabil khusus bagi aparat jaksa penuntut dalam penanganan perkara pidana dalam pemberian akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.

Kesempatan itu, disitat dari Hukum Online (8/3/2021), diakses dari Bandarlampung, Minggu (1/5/2021), JAM Pidum Dr Fadil Zumhana mengelaborasi sedikitnya tiga alasan latar penyusunan Pedoman ini.

Pertama, bahwa perkara yang melibatkan perempuan dan anak terus menjadi tren yang meningkat dari tahun ke tahun.

Bahkan perkara melibatkan perempuan dan anak, bukan perkara yang bobotnya ringan. “Dalam praktik, banyak tahapan penanganan perkara yang belum tersentuh, padahal telah tersedia dalam UU. Seperti, UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT,” kata dia.

“Aturannya sudah bagus,” cetusnya, “Tapi tidak dilaksanakan, bagaimana hukum acaranya, dimana dilaksanakan, dan siapa yang melaksanakan perintah perlindungan, itu contoh yang tidak diatur,” ujar bernada menggugat, mantan Staf Ahli Jaksa Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara ini.

Dalam Pedoman Kejaksaan itu mengatur soal bagaimana jaksa berperan aktif dalam menjamin pelaksanaan ketentuan UU yang berlaku, tapi tak ada aturan pelaksanaannya, sehingga belum jelas aturan teknisnya.

Baca Juga:  Pesan Ketua APINDO Lampung Ary Meizari di Rakerda FSPPP SPSI

“Melalui Pedoman Kejaksaan ini, nantinya memudahkan perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan hak-haknya sesuai peraturan yang ada.”

Kedua, seringkali aparat penegak hukum dalam penanganan perkara perempuan dan anak tak membuat konstruksi hukum secara tepat. Menurut Fadil, kesalahan konstruksi hukum mengakibatkan perempuan dan anak tidak diposisikan dengan benar sesuai dengan hak-haknya. Atau posisi subjeknya tak dilihat dalam perspektif gejala sosial.

“Padahal, hukum memiliki cara sendiri memposisikan perempuan dan anak berdasarkan orientasi tujuan pemidanaan, asas, dan konsep hukum,” intensinya, pun dia menilai asas konsep hukum seperti itu masih belum dipahami aparat penegak hukum dengan benar.

“Padahal hukum dibuat berbasis nilai moral dan dikaitkan dengan keadilan. Inilah kenapa pedoman ini tak hanya disusun berdasarkan perspektif gender, namun juga berdasarkan perspektif ilmu hukum yang melihat posisi perempuan dan anak lebih pada persamaan di depan hukum,” tegas Fadil, impresif.

Baca Juga:  KBM Universitas Tulang Bawang Bagikan Sembako dan Masker

Lalu ketiga, mantan Kajati Kalimantan Timur ini melanjutkan, banyaknya terminologi yang berbeda antara satu UU dengan UU lainnya. Yang lantas berdampak kerancuan dalam implementasinya.

“Seperti, penerapan hukumnya menjadi keliru. Jaksa, sebagai bagian dari proses penegakan hukum perlu memiliki standar kehati-hatian tinggi dalam mengkualifisir terminologi dalam menangani perkara perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum,” dia menekankan.

Pedoman ini menyusun tabel irisan masing-masing terminologi yang dikenal dalam sejumlah UU. Seperti terminologi seputar “persetubuhan”, “kekerasan seksual”, atau “pemerkosaan”. Disebutkan Fadil, Pedoman Kejaksaan 1/2021 memberi tafsir sistematis terhadap beberapa terminologi dimaksud.

Termasuk, implikasinya terhadap perbedaan perlindungan dilihat dari statusnya dari masing-masing UU.

Menariknya, Pedoman 1/2021 merangkum lebih dari 11 UU yang memiliki ketentuan dalam pemberian perlindungan bagi terjaminnya hak perempuan dan anak.

Seperti UU KUHP; UU 23/2004 tentang Penghapusan KDRT; UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; UU 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO; UU 44/2008 tentang Pornografi; UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; UU 39/1999 tentang HAM; UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, serta lainnya.

Baca Juga:  Dosen Prodi Akuntansi ini Tulis Buku ‘Aplikasi Statistik’

Bak hendak memastikan, Fadil membesut bahwa Pedoman ini menjadi penyemangat dalam menyatukan dan mensimplifikasi penggunaan ketentuan pidana agar supaya penegakan hukum dapat berjalan lebih konsisten, berkepastian hukum, dan dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan kesulitan praktek di lapangan.

“Kemudian, penegak hukum perlu menangani perkara dengan teliti, dapat mengkonstatir fakta hukum dengan baik. Kemudian, memasukkannya dalam kotak-kotak hukum yang tepat,” mangkus dia.

Di ujung paparan, dia menajuk harapan agar Pedoman itu jadi solusi bagi penegak hukum ketika menemui kesulitan di lapangan. “Dan pada akhirnya memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan anak di Indonesia,” tutupnya.

Bersambung Baca Ke Pages Selanjutnya

Tagged